Posts Tagged ‘Majalah Hevea’

Sumatera Selatan, saat industri-industri pengolahan kayu karet mulai bertumbangan karena tidak terpenuhinya bahan baku produksi, PT. Sumatera Prima Fibreboard (PT. SPF) malah melenggang eksis sebagai perusahaan pengolahan kayu karet. Strategi jemput bola bahan baku ke kebun-kebun disebut-sebut sebagai grand strategy sehingga perusahaan ini mampu eksis di industri pengolahan kayu karet.

Perusahaan yang berlokasi di Inderalaya ini khusus memproduksi Medium Density Fibreboard (MDF) dengan ketebalan antara 2,5-18 milimeter. MDF PT. SPF diproduksi di pabrik seluas 17 hektar dengan kapasitas produksi sebesar 145.000 m3 per tahun atau 760-820 ton per hari. MDF biasanya digunakan sebagai furnitur, langit-langit, pintu, dan lantai. MDF juga bisa digunakan untuk vener, overlay, dan laminating. Kayu karet tergolong kayu kelas kuat II yang berarti setara dengan kayu hutan alam seperti kayu ramin, perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan nyatoh, sedangkan untuk kelas awetnya, kayu karet tergolong kelas awet V atau setara dengan kayu ramin.

Kesulitan suplai kayu karet di Sumatera Selatan ini adalah infrastruktur yang kurang memadai. “Jalan kebun begitu jelek. Ketika adanya potensi kayu karet di kebun karena petani telah melakukan peremajaan, tetapi kayu-kayu tersebut tidak bisa keluar akibat infrastruktur jelek, itu menjadi problem,” ujar John Hendarso, Direktur Operasional PT. SPF. Pengaruh cuaca, lanjut John, juga sangat berpengaruh besar terhadap suplai karet, artinya ketika musim hujan tiba jumlah suplai akan lebih rendah dibanding musim kemarau.

Ketika hujan tiba, suplai kayu dari perkebunan besar menjadi andalan PT. SPF. Saat ini 40-60 persen, suplai kayu PT. SPF datang dari perkebunan besar dan petani besar. Dari persentase itu, 20-35 persen strategi mereka arahkan ke perkebunan besar, karena perkebunan besar memiliki infrasruktur yang baik. Namun, kata John, mereka tidak sepenuhnya mengambil semua dari perkebunan besar, mereka juga melihat potensi yang ada di petani kecil.

Strategi perusahaan yang berdiri tahun 2004 ini untuk memenuhi kebutuhan suplai kayu karetnya adalah mencarinya hingga ratusan kilometer dari pabrik, “Kami mencari bahan baku hingga jarak 200 kilometer dari pabrik. Kalau tidak demikian kami akan kekurangan bahan baku,” ungkap John. PT. SPF pernah berhenti beroperasi pada tahun 2006 dan 2008 karena kekurangan kayu karet.

Harga beli kayu karet PT. SPF tergantung jarak kebun dengan pabrik. Semakin jauh lokasi kebun maka harga kayu karet akan dibeli dengan harga tinggi. “Harga di pabrik untuk saat ini berkisar Rp170-250 ribu per kilogramnya, itu sudah termasuk biaya tebang, muat, dan angkut. Kayu karet yang masuk ke pabrik PT. SPF harus memenuhi syarat yaitu termasuk kategori fresh cut, maksimal kayu berumur 2 minggu setelah tebang. Syarat ini diberlakukan berkaitan dengan kayu karet masih rentan terhadap jamur biru (blue stain) yang akan mengurangi kualitas kayu. Kebutuhan kayu tergantung dari ketebalan MDF yang akan dibuat. Jika lebih tebal maka akan membuat density lebih rendah sehingga kebutuhan kayu lebih sedikit. Sebaliknya jika lebih tipis density lebih besar maka  kebutuhan kayu lebih banyak.

Kebutuhan Domestik. Pangsa pasar MDF PT. SPF 60 persen ditujukan untuk pasar domestik , sedangkan sisanya  untuk ekspor. Pasar domestik lebih banyak dijual ke Pulau Jawa seperti Jakart dan Surabaya, sedangkan pasar ekspor ditujukan ke China dan Vietnam. “Kami akan memproduksi MDF jika ada pesanan,” ujar John. John mengklaim bahwa perusahaannya merupakan industri pengolahan karet terbaik di Indonesia dari segi kualitas dan pengemasan. Terbukti dengan tiga standardisasi dari luar negeri sudah mereka miliki. Standardisasi datang dari European MDF Board (EMB), Japan Industrial Standart (JIS), dan California Air Regulatory Board (CARB).

Menurut John, saat ini customer luar negeri makin membutuhkan kualitas yang lebih baik, sehingga standardisasi semakin ketat. Ketatnya standardisasi secara tidak langsung berpengaruh semakin tingginya harga MDF buatan PT. SPF. “Standar JIS membuat harga lebih tinggi, karena produksi lebih mahal dengan penetapan standar yang ketat. Customer tidak mempermasalahkan harga, jika kualitas bagus. Ya…ada uang ada barang,” ungkap John. PT. SPF menghasilkan berbagai macam produk MDF, seperti tahan kelembaban tinggi, tahan api, papan formaldehida sangat rendah, dan papan serat kepadatan tinggi khusus untuk industri lantai.

Pemantauan kualitas produk melewati tiga proses yaitu detektor logam, profil kepadatan, dan sistem penyemprotan, dikombinasikan dengan sensor pemantauan melepuh untuk memastikan hanya produk kualitas tinggi yang dihasilkan. “Seluruh proses produksi dan produk akhir kami mengalami pemeriksaan yang ketat berdasarkan standar jaminan kualitas tinggi. Semua produk diperiksa secara visual dan dinilai sebelum persetujuan untuk pengepakan dan pengiriman ke pelanggan kami,” ujar john.

Perbedaan harga jual MDF dalam negeri dengan luar negeri hanya pada jarak pengiriman. Dengan adanya liberasisasi perdagangan, kata John, tidak ada perbedaan harga yang signifikan, semua tergantung jarak. Selain itu, juga tergantung ketebalan dan jenis produk yang dijual. MDF termasuk produk dengan harga jual rendah dengan ongkos produksi tinggi. Berbeda dengan plywood merupakan produk dengan harga jual tinggi, sedangkan produksi rendah sehingga pembelian bahan baku bisa tinggi.

Dukung Peremajaan. Paling penting, kata John, industri yang penggerak nilainya bergantung pada sumberdaya alam harus di manage dalam hal memproduksi atau memanfaatkan bahan baku secara efisien. “Jika bisa efisien, meskipun terjadi kenaikan harga bahan baku, perusahaan masih bisa hidup,” ujar John. Untuk menunjang keberlanjutan, maka semua pengembangan tanaman karet benar-benar di dukung, sustainability supply tergantung dari keberhasilan program peremajaan. Visi pemerintah soal pemasaran, menurut John, belum terlalu clear. “Kita berbicara petani hingga produksi tapi kita tidak melihat Supply Chain Management, supaya produksi kita bisa memiliki jaringan yang kuat,” ujar John.

Untuk mendorong petani melakukan peremajaan sehingga bisa terbantunya keberlanjutan suplai kayu karet, maka PT. SPF memberikan dana berupa bantuan uang untuk tiga penangkar untuk membantu bibit bagi petani yang melakukan peremajaan. Entresnya dari rekomendasi Balai Penelitian Sembawa. Jumlah bibit per tahun tergantung dari kemampuan penangkar itu sendiri. “Karena selama ini permasalahan dari peremajaan adalah tidak adanya dana,” ujar John. Prospek MDF, kata John, masih sangat bagus, karena kayu karet dapat mensubstitusi kayu alam yang saat ini semakin berkurang ketersediaannya sedangkan permintaan semakin meningkat.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 4, Pusat Penelitian Karet Indonesia

Harga karet yang semakin menjanjikan telah menggoda PTPN IX untuk terus mengembangkan karet. Konversi tanaman kopi dan kakao ke karet pun dilakukan. Tak hayal, kin, karet menjadi sumber pendapatan utama bagi perusahaan perkebunan yang berpusat di Semarang ini.

Sejarahnya, N9 terbentuk dari hasil penggabungan dari beberapa PT. Perkebunan (PTP) yakni PTP XV, PTP XVI, dan PTP XVIII. Dalam mengelola tanamannya, N9 membagi jadi dua divisi tanaman yaitu Divisi Tanaman Tahunan dan Semusim. Divisi Tanaman Tahunan membudidayakan dan menghasilkan produk-produk dari tanaman karet, kopi, kakao, dan teh. Sedangkan Divisi Tanaman Semusim menghasilkan produk dari tanaman tebu. N9 memiliki 8 pabrik pengolahan tebu menjadi gula yang tersebar di Jawa Tengah. Industri hilir N9 berupa teh celup dan serbuk merek “Kaligua”, Kopi bubuk “Banaran”, dan Gula pasir “Gula 9”, sedangkan untuk karet masih berupa raw material.

Saat ini areal konsesi 32 ribu ha, sekitar 27 ribu ha didominasi tanaman karet. PTP Nusantara IX juga mengelola komoditas sampingan seperti pala, kapuk, kelapa, dan agrowisata di Kebun Banaran dan Kaligua. “Dari semua komoditas yang ada, sekitar 80% pendapatan diperoleh dari karet, dan saat ini, karet menjadi tulang punggung perusahaan kami,” ujar R. Harwiyanto, Kepala Bagian Tanaman PTP Nusantara IX. Tahun 2009, PTP Nusantara IX berhasil membukukan laba dengan komposisi sebesar Rp 40 miliar dari hasil penjualan sejumlah komoditas. Komposisi dan terbesar diperoleh dari komoditas karet. Direktur Pemasaran dan Rencana Pengembangan PTP Nusantara IX, Dwi Santosa mengatakan perolehan laba sebesar itu melampaui target yang ditetapkan,yakni Rp35 miliar. PTP Nusantara IX pernah mendapat keuntungan yang cukup tinggi saat booming karet pada 1998, mencapai Rp 89 miliar.

Hingga akhir tahun 2009, ada 11 kebun karet yang dikelola dengan luas areal 2.116,6 ha. Sebelas kebun tersebut antara lain Kebun Warnasari, Kawung, Krumput, Blimbing, Siluwok, Sukamangli, Merbuh, Ngobo, Getas, Batujamus, dan Balong. Karet cukup dominan dari empat komoditas pokok yang dikelola PTP Nusantara IX. Untuk tanaman tahun ini (TTI) karet tahun 2009 luasnya 2.116,60 ha. Tahun 2010 diprediksi meningkat 2.253,89 ha, baik dari tanaman replanting maupun konversi. Kakao merupakan tanaman yang akan banyak dikonversi menjadi karet karena menurut Harwiyanto, tanaman kakao sudah tidak cocok dengan perubahan yang terjadi akhir-akhir ini. “Kakao hanya akan kami sisakan 300 ha sebagai kebun bibit kakao. Selain itu, tanaman kopi dan teh pada beberapa kebun yang sudah tidak potensial juga akan kami konversi ke karet,” ujar Harwiyanto.

Untuk tanaman replanting, pada tahun 2010 PTP Nusantara IX akan “menggarap” 2.200 ha. Menurut Harwiyanto, pengembangan tanaman karet dilakukan karena berdasarkan pengalaman, harga karet paling konstan bahkan cenderung meningkat. “Tanaman lain sulit kami prediksi.  Berbeda dengan karet yang prospeknya bagus. Empat tahun ini investasi tanaman karet sangat tinggi. Karet akan kami posisikan sebagai core business yang handal,” ungkap Harwiyanto.

Jor-joran dalam mengembangkan karet telah membuahkan hasil terhadap peningkatan produktivitas setiap tahun. Peningkatan inipun diamini oleh Harwiyanto,”Produktivitas kami naik dari tahun ke tahun. Tahun 2005, kami hanya memperoleh 1.176, tetapi tahun 2009 sudah mencapai 1.414 kg per hektar per tahun. Prediksi kami, tahun 2011 bisa mencapai 1.564 kg per hektar per tahun”. Harwiyanto menambahkan peningkatan produktivitas selain karena pertambahan luas areal karet, juga berkat penggunaan klon-klon unggul rekomendasi Balit Getas, antara lain klon-klon BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260, IRR 118, IRR 32, IRR 42, RRIC 100, dan PB 217. Dari beberapa klon rekomendasi tadi, PTP Nusantara IX  paling banyak mengelola klon PB 217.

Tak hanya itu. Penggunaan gas stimulan etilen untuk memerah latekspun diterapkan. “Dengan menggunakan gas etilen, volume lateks meningkat hingga 200%. Teknologi gas ini diterapkan pada pohon pohon tua, tiga tahun sebelum diremajakan,” ujar Harwiyanto. Dalam 5 tahun terakhir ini, penggunaan gas stimulan etilen dipakai pada beberapa perusahaan perkebunan karet seperti PT. Pinago di Sumatera Selatan dan PTP Nusantara XII. Hasilnya menunjukkan produksi yang stabil konstan, tidak ada penurunan produksi secara signifikan dan mengurangi penurunan kualitas karet. “Tapi kami masih berhati-hati, karena dalam jangka panjang pasti ada dampak akibat pemerasan lateks tersebut. Misalkan saja jika pemeliharaan dan pemupukan tidak dilipatgandakan tentu akan berpengaruh,” tambah Harwiyanto.

Agar produktivitas dapat terus ditingkatkan, PTP Nusantara IX juga memperhatikan perawatan kebun dalam bentuk pemupukan, pemberantasan gulma, dan hama penyakit. Pemupukan masih konvensial baik tunggal atau majemuk, demikian juga pupuk organik. PTP Nusantara IX juga menggunakan rorak dalam,mengisinya  dengan pupuk kandang untuk mengurangi kekeringan pada musim kemarau dan akan terus dibuat setiap tahun sebanyak 25% persen dari luas areal. Rorak sudah dibuat ketika TBM 2 hingga 3. Harwiyanto mengklaim rorak dalam terbukti mempengaruhi pertumbuhan lilit batang dan ketebalan kulit ketika musim kemarau tiba.

Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) dan penyakit daun masih menjadi bayang-bayang yang menakutkan bagi karet di PTP Nusantara IX. Pencegahan sudah dilakukan sejak TBM dan terus mereka lakukan. Salah satu pencegahan JAP dengan menggunakan Triko Combi G yang diproduksi Balit Getas. “Hasilnya,serangan JAP pada karet kami sudah berkurang,” ujar Harwiyanto. Triko Combi G merupakan inovasi terbaru dari Balit Getas untuk menanggulangi JAP. Meskipun masih dalam tahap pengujian, Triko Combi G sudah menunjukkan keberhasilan  yang memuaskan.

Untuk terus meningkatkan kinerja tanaman, selain bekerjasama dengan Balit Getas, PTP.Nusantara IX juga bekerjasama dengan Balit Sungei Putih. Kerjasama dengan Balit Getas berkaitan dengan investasi tanaman, sedangkan dengan Balit Sungei Putih berkaitan dengan sistem eksploitasi. “Setiap tiga bulan sekali mereka datang untuk mengevaluasi semua kondisi tanaman kita,” tambahnya.

Tak hanya kebun produksi, PTP Nusantara IX juga memiliki kebun bibit pada di setiap kebunnya dengan luas masing-masing sekitar 62 ha. Untuk pembibitan, kebanyakan masih menggunakan OMT, tetapi PTP Nusantara IX juga sudah mengadopsi Tanam Benih Langsung (Tabela) untuk kebun bibitnya. Menurut Harwiyanto, penggunaan okulasi hijau dengan sistem Tabela dapat dikatakan sangat efisien, karena pelaksanaan okulasi sudah dilakukan saat bibit berumur empat bulan. “Untuk menghasilkan bahan tanam hanya butuh satu tahun, sehingga sangat menghemat investasi,” ujarnya. Hingga akhir tahun 2009, jumlah bibit polibeg yang dimiliki PTP Nusantara IX sebanyak 1.411.722 bibit, akan meningkat pada tahun 2010 sebanyak 1.503.345 bibit.

Pengembangan karet tak hanya dilakukan pada kebunnya, kualitas Sumberdaya manusia (SDM) juga mulai ditingkatkan. Menurut Sinta Setyarini, karyawan bagian Corporate Secretary, pengembangan SDM dilakukan dengan menggelar beberapa pelatihan bagi sinder, asisten sinder, dan sinder kebun baru, bekerjasama dengan balai-balai penelitian. “Ini dilakukan sebagai bagian dari peningkatan kompetensi mereka dalam budidaya karet, sehingga mereka memahami secara utuh mengelola kebun karet yang baik. Jika perlakukan kebun kami baik, tentu akan baik pula produksi karetnya,” ujar Sinta.

Ekspor

Raw material karet yang dihasilkan PTP Nusantara IX berupa Ribbed Smoke Sheet (RSS), lateks pekat, dan brown crepe. Sekitar 85% dihasilkan PTP Nusantara IX dalam bentuk RSS yaitu RSS I, II, III, IV, Cut A, dan Cut B. Raw material diolah di pabrik-pabrik milik PTP Nusantara IX yang saat ini berjumlah 11 pabrik. Setiap kebun memiliki satu pabrik pengolahan. Pabrik lateks pekat hanya ada di Kebun Getas, sedangkan pabrik brown crepe di Kebun Balong, Merboh, Getas, dan Batu Jamus.

Pangsa pasar karet perusahaan yang pernah berpusat di Surakarta ini lebih ditujukan untuk pasar ekspor, khususnya RSS. Negara tujuan ekspor RSS diantaranya Singapura, China, Jepang, Ukriana, Korea, dan Rusia. “Kami paling banyak mengekspor sheet ke China,” ujar Sinta. Volume ekspor karet PTP Nusantara IX tahun 2009 mencapai 14 ribu ton dari total produksi sebanyak 26 ribu ton. Produksi itu berasal dari hasil panen di lahan seluas 23.000 ha yang tersebar di beberapa wilayah di Jateng. Menurut Sinta, tahun 2010, produksi ditargetkan naik 10% dari tahun lalu dengan perolehan laba 2010 ditargetkan naik 300%. “Kami optimis penjualan karet akan meningkat karena harga karet mulai merangkak naik ke USD3,17 per kilogram per Juni kemarin,” ungkap Sinta.

BUMN Hijau.

Di kebun-kebun karet PTP Nusantara IX, selain ditanami karet, juga ditanam beberapa jenis pohon seperti Jabon, Albasiah, dan Sengon. “Kami mengadopsi dari PTP Nusantara XII. Pohon-pohon tersebut kami tanam di sepanjang jalan kontrol dan tanah-tanah marjinal yang tidak bisa ditanami karet,” ujar Harwiyanto. Ditambahkannya, pada tahun 2011 diproyeksikan pohon-pohon tersebut akan mencapai 3 juta pohon. Dengan demikian, lima tahun kedepan,pada masa panen kayu-kayu tersebut, termasuk dengan kayu karet,PTP Nusantara IX akan menuju bisnis perkayuan. Saat ini, sebagian besar kayu karet digunakan untuk pengasapan pada pengolahan RSS. PTP Nusantara IX belum mengandalkan kayu karet ke dalam bisnis meubel. “Tapi jika ada sisa kayu, kami juga menjualnya ke pihak ketiga dengan harga sekitar Rp50-60 ribu per pohon,”ungkap Harwiyanto.

Rencana ke depan, PTP Nusantara IX bersama tiga BUMN lainnya yaitu PT. Inhutani II,PTP Nusantara VIII, dan PTP Nusantara XII akan memperluas lahan karet di  Kalimantan seluas 14.600 ha. PT. Inhutani akan berperan sebagai pemilik dan pengelolaan lahan, sedangkan PTP Nusantara sebagai penyedia dana dan manajemen. Nilai investasi yang menjadi bagian PTP Nusantara IX sebesar Rp392,80 miliar. “Rencana ini dilaksanakan secara bertahap dari tahun 2010 hingga sampai 2018. Nilai investasi tahun 2010 sebesar Rp 4,2 miliar. Semoga saja rencana ini bisa terwujud,” harap Sinta. Sinta menambahkan, untuk industri hilir karet, PTP Nusantara IX N9 bersama PTPN penghasil karet lainnya tengah berupaya mewujudkan pembangunan industri ban kendaraan roda dua. “Nilai penyertaan PTP Nusantara IX sebesar 14,63% atau sekitar Rp9,5 miliar dari total investasi  yang sebesar Rp65 miliar,”jelas Sinta.

Selain itu, PTP Nusantara IX bersama tujuh BUMN lain yaitu PTP Nusantara X, PTP Nusantara XI, PTP Nusantara XII, PT. RNI, Perum Jasa Tirta I, PT. Petrokimia Gresik, dan Perum Perhutani bekerjasama mendirikan PT. BUMN Hijau Lestari II. “Tujuannya, ikut andil dalam melestarikan dan menghijaukan bumi kita. Areal yang akan dihijaukan seluas 300 ha dengan nilai investasi sebesar Rp15,5 miliar,”ujar Dwi Santosa. Pada BUMN Hijau ini, PTP Nusantara IX dan PT. Jasa Tirta I menginvestasikan dana paling besar masing-masing sebesar 25,5% atau sekitar Rp3,953 miliar. Sedangkan BUMN lainnya mempunyai porsi yang sama. “Program ini akan dilaksanakan selama lima tahun secara bertahap. Investasi N9 tahun 2010 mencapai Rp1,403 miliar,” tambah Dwi.

Pendirian BUMN Hijau juga digunakan sebagai sharing pengalaman pengelolaan tanaman, karena tanaman yang akan banyak ditanam  adalah karet, selain sengon, jabon, sereh, aren, dan salak. “Karena komoditas utama PTP Nusantara IX adalah karet, jadi bisa digunakan sebagai berbagi pengalaman dalam budidaya karet,” ujar Dwi. Program BUMN Hijau sudah dimulai di Wonogiri, seluas 300 ha. “Selanjutnya akan dikembangkan pada DAS Bengawan Solo dan Brantas. Setelah itu kami berencana mengembangkan melakukan program penghijauan seluas 100 ha. Saat ini kami fokus di ke Wonogiri dahulu,”ujar Dwi.

Selain sharing pengalaman tanaman, juga dilakukan sharing pendapatan dengan masyarakat yang ikut andil. Untuk masyarakat yang mengelola tanaman sereh dan aren, hasilnya akan diserahkan 100% kepada masyarakat. Tidak ada sepeser pun untuk BUMN Hijau. “Sedangkan untuk tanaman kayu-kayuan seperti karet, sengon, jabon, dan  salak, hasilnya dibagi dengan perbandingan 60:40. Artinya, 60% dari total hasil penjualan diserahkan ke BUMN Hijau, sisanya untuk masyarakat,” ungkap Dwi di kantornya siang itu.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 4, Pusat Penelitian Karet Indonesia

Gutta Percha dan Hevea Brasiliensis (karet) merupakan pohon penghasil getah lateks. Secara kimiawi, lateks Gutta Percha dan tanaman karet sama-sama memiliki kandungan Isoprena dan Caoretchina. Karenanya, pada saat Perang Dunia II terjadi, Gutta Percha pernah dipakai saat ketika stok suplai lateks dari tanaman karet sedang kosong.

Sejak perkebunan Gutta Percha di Brazil dikonversi dengan tanaman lain, keberadaan Gutta Percha sekarang ini hanya di Indonesia, dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) tepatnya di Perkebunan Sukamaju, termasuk dalam Unit Bisnis Wilayah I PTPN VIII.  “Di Indonesia cuma ada di PTPN VIII, khususnya di Perkebunan Sukamaju,” ujar Tedi Tarunawijaya, Administratur Perkebunan Sukamaju. Perkebunan Sukamaju berada di Kabupaten Sukabumi mengelola areal konsesi seluas 7.379,63 ha, terbagi atas enam afdeling tersebut  meliputi wilayah Cibadak, Cikidang, Bojong Genteng, Parungkuda, dan Kalapanunggal.

Perkebunan Sukamaju mengelola dua tanaman yang dibudidayakan yaitu Gutta Percha dan Kelapa Sawit. Luas areal penanaman Gutta Percha di perkebunan tersebut 282,88 ha, berlokasi di Afdeling III Cipetir. Gutta Percha diperbanyak melalui biji yang diperoleh dari kebun biji khusus di Perkebunan Sukamaju. Tanaman sumber biji itu sendiri ditanam tahun 1885. Tanaman dengan tinggi yang bisa mencapai 30 m dan diameter 0,5 m ini menghasilkan Gutta putih, yakni getah yang diperoleh dari daun. Makin tua umur daun, makin tinggi kadar Guttanya. Dulu, bahan baku Gutta Percha diperoleh dari pohon Gutta Percha di hutan-hutan Sumatera, Riau, Bangka, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia.

Untuk menghasilkan 13 kg Gutta putih dibutuhkan satu ton daun Gutta Percha. Tahun 2009, produksi Gutta Percha PTPN VIII hanya 585 kg Gutta putih. Untuk mengolah daun Gutta Percha menjadi Gutta putih, PTPN VIII memiliki pabrik pengolahannya sendiri, namun pabrik ini hanya beraktivitas jika ada pesanan saja. Pabrik Gutta Percha milik perusahaan perkebunan yang kantor pusatnya berada di Bandung ini bisa dikatakan sebagai pabrik pengolahan Gutta Percha satu-satunya di dunia. “Gutta Percha menjadi identitas tanaman dan menjadi ciri khas PTPN VIII,” ujar Tedi.

Pangsa pasar Gutta Percha PTPN VIII lebih ditujukan ke pasar ekspor. Permintaan datang dari berbagai negara seperti Belanda, Inggris, Jerman, Amerika, Kanada, Hongkong, Australia, Italia, Perancis, dan Irlandia. Pengembangan penggunaan Gutta Percha sudah semakin banyak, Awalnya, Gutta Percha hanya digunakan sebagai insulasi kabel bawah laut. Kini, Gutta Percha digunakan untuk keperluan medis, sebagai pengganti bagian organ manusia, perawatan gigi, dan pembuatan gigi tiruan. Tak hanya itu, Gutta Percha juga digunakan untuk pelapis luar bola golf. Disamping itu, kayu Gutta Percha pun memiliki nilai ekonomis sebagai perabotan/mebel karena memiliki pola-pola yang menarik.

Masuknya Gutta Percha Ke Indonesia. Gutta Percha diperkenalkan pertama kali di Eropa oleh William Montgomery, tahun 1843. Gutta Percha baru memasuki pasaran dunia sekitar tahun 1856 setelah diketahui memiliki sifat-sifat yang cocok sebagai bahan insulasi kabel dasar laut. Pada suhu biasa, Gutta Percha merupakan benda keras, sedikit sekali merentang. Namun ketika dipanaskan pada suhu 650C, material yang diperoleh dari pohon Palagulum Oblongifolium Burck ini menjadi lunak dan dapat dikepal-kepal tangan untuk membentuk apapun.

Tahun 1856 hingga 1896, penggunaan Gutta Percha di dunia untuk insulasi kabel dasar laut sudah mencapai 16.000 ton yang direntangkan sepanjang 184.000 mil laut di sekitar pantai Benua Amerika, Eropa, Asia, Australia, pantai timur dan barat Afrika, dan sepanjang antar samudera. Sekitar tahun 1885, D.E.I. Government melakukan penelitian di Perkebunan Cipetir, saat Afdeling III Perkebunan Sukamaju dengan menanam beberapa varietas pohon Gutta Percha yang kemudian diseleksi.

Sekitar tahun 1901, karena peningkatan kebutuhan akan Gutta Percha, dan dinilai pengalaman yang cukup pada penanaman percobaan sebelumnya, maka Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun Perkebunan Negara Gutta Percha Cipetir dengan menanam tanaman produksi Gutta Percha. Tahun 1901 hingga tahun 1906, terjadi penambahan seluas 1000 ha, yang kemudian pada tahun 1919 penanaman Gutta Percha diperluas lagi 250 ha. Total area Gutta Percha di Perkebunan Cipetir saat itu menjadi sekitar 1.322 ha.

Tahun 1914, Perkebunan Cipetir masuk ke dalam Lands Caoutchouch Bedrijf (LCB), perusahaan perkebunan negara milik Belanda. Masih pada tahun yang sama, Pemerintah Belanda kemudian membangun pabrik Gutta Percha atas prakarsa Tromp de Haas. Namun selama tujuh tahun, pembangunan pabrik ini sempat terbengkalai. Pada tahun 1921, pabrik Gutta Percha dapat diselesaikan oleh H. Van Lennep, yang saat itu menjabat sebagai Administratur Perkebunan Cipetir.

Untuk membuat Gutta Percha dibutuhkan daun dan ranting kecil dari pohon Gutta Percha. Penggilingan daun dan ranting, membutuhkan dibutuhkan dua batu bulat besar menyerupai ban dengan berat masing-masing sekitar empat ton. Batu ini adalah batu granit yang didatangkan dari Italia. Saat ini, terdapat delapan batu yang tersimpan di pabrik Cipetir. Dari delapan batu tersebut, hanya empat batu saja yang masih berfungsi. “Tanpa bantuan batu ini, Gutta Percha tidak bisa diproses,” kata Tedi.

Ada cerita menarik ketika batu ini pertama kali dikirim ke pabrik Cipetir. Dari delapan batu, sebanyak tujuh batu dapat dibawa mudah dan lancar ke pabrik dengan menggunakan pedati yang ditarik oleh kuda. Namun untuk membawa satu batu terakhir dibutuhkan waktu lama. Penyebabnya adalah kuda yang mengangkut batu ini tidak mau jalan jika tidak ditarikan tarian Ronggeng, tarian daerah Jawa Barat. Ketika tarian Ronggeng dimulai, kuda pun akhirnya jalan. Tapi kalau tari Ronggeng berhenti, kuda juga akan berhenti. “Karena itu, batu terakhir ini sering disebut dengan Si Ronggeng,” ujar Tedi.

Gaet Balit Getas. Data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2007 menunjukkan permintaan Gutta Percha trennya terus meningkat. “Awal tahun 2008, harga Gutta Percha mencapai Rp1,5 juta/kg. Harga tersebut tentu sangat menarik untuk mengembangkan Gutta Percha,” ungkap Akhmad Rauf, peneliti dari Balai Penelitian (Balit) Getas. Rauf menambahkan kondisi tersebut belum dapat dimanfaatkan PTPN VIII karena kebutuhan bahan baku yang terbatas. “Kondisi ekstrem terjadi pada tahun 2007, ketika permintaan Gutta Percha mencapai 2.160 kg, namun PTPN VIII hanya mampu memproduksi 108 kg saja,” tambah Rauf.

Karena itu berbagai upaya dilakukan PTPN VIII dalam melestarikan tanaman ini yaitu melalui program pemadatan populasi di areal yang sekarang ini. PTPN VIII juga akan menggaet Balai Penelitian Getas mulai penerapan teknologi budidaya sampai manajemen panen.  “Saat ini PTPN VIII sangat kekurangan bahan baku.Dengan adanya kerjasama ini menjadi langkah awal dalam pengembangan bisnis Gutta Percha PTPN VIII,” ujar Rauf. Tedi menambahkan, harapan Gutta Percha sebagai tanaman kebanggaan Indonesia, khususnya bagi wilayah Kabupaten Sukabumi. Bukan tidak mungkin Perkebunan Cipetir dapat dijadikan sebagai kebun wisata ilmiah di masa yang akan datang.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 4, Pusat Penelitian Karet Indonesia

Nada optimis dilontarkan Asril Sutan Amir, Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) untuk perkaretan Indonesia sebagai dampak membumbungnya harga karet hingga menyentuh USD 4,2. Asrilpun menggadang perkaretan Indonesia bakal menduduki nomor wahid pada tahun 2020. Berikut petikan wawancara dengan Asril Sutan Amir di kantor Gapkindo, Jalan Cideng Barat, Jakarta Pusat:

Bagaimana perkembangan harga karet di Indonesia 10 tahun terakhir?

Sepuluh tahun yang lalu, negara kita masih kurang tepat dalam menganalisa pasar karet. Banyak yang mengatakan bahwa terjadi over supply dari karet. Namun setelah dikaji ulang tahun 2000, sebenarnya tidak. Kemudian terjadi pertumbuhan cepat di China, India, Asia pasifik. Industri otomotif membutuhkan karet alam. Tahun 2001, diadakan Bali Concord oleh tiga negara Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Kita inginkan remunerasi harga yang patut. Kemudian meningkat harga dari 46 cent sampai USD 1 per kilogram. China mengalami perkembangan luar biasa dengan hampir semua provinsi bisa membuka industri ban, dan hingga saat ini China mempunyai pabrik ban sebanyak 366 unit. Dengan penduduk yang banyak, yang dulunya naik sepeda, kemudian motor lalu mobil akibat pertumbuhan ekonomi yang cepat, sangat menyedot karet, dan sampai sekarang ini harga karet naik hingga USD 4,2.

Harga saat ini menyentuh USD 4,2, menurut Anda?

Harga saat ini sebenarnya membuat pusing pengusaha, karena akan membengkakkan working capital mereka. Selama karet di Indonesia paling tinggi sekarang ini, Perang Korea saja hanya mendongkrak hingga USD 3,2. Paling beruntung saat ini adalah pelaku karet di hulu, khususnya petani. Taruh jika kadar mereka 40 persen, mereka sudah dapat Rp14 ribu. Kalau kadar mereka 100 persen bisa mencapai Rp 35 ribu.

Penyebab kenaikan harga tersebut?

Karena negara-negara di Asia, yang disebut emerging market, saat ini mengalami peningkatan GDP. China dan India mengalami pertumbuhan yang luar biasa, China pada kuartal I mencapai 11 persen, 10,6 persen pada kuartal II, dan kuartal III di atas 9%. Pada tahun 2010 China akan tumbuh 10%, meskipun China mengadakan kenaikan suku bunga, tapi ekonomi tetap menghangat. India naik 8%, tahun ini Indonesia sendiri mencapai 6,5%. Dengan kenikan GDP berarti kemakmuran bertambah yang berkorelasi dengan kenaikan konsumsi karet. Tahun lalu, penjualan mobil di China mencapai 13,6 juta unit, tahun ini diprediksi mencapai 16 juta unit. Di Amerika, tahun lalu mencapai 10 juta, tahun ini bisa mencapai 12 juta unit. Terjadi kenaikan permintaan karet alam luar biasa, setidaknya mencapai 5-6 %.

Penyebab lain, menurut Anda?

Pedagang perantara juga memegang peranan terjadinya kenaikan harga saat ini. Rantai tataniaga karet masih cukup panjang. Dari petani, pengumpul tingkat desa, kecamatan, kabupaten sampai pabrik. Mereka cukup mengganggu suplai karet, karena kalau harga naik mereka malah menyimpan karet, sehingga pabrik pengolahan kosong kekurangan suplai bahan baku. Namun kalau harga turun, mereka mengeluarkan semua karet mereka.

Namun harga tinggi, volume produksi kita rendah?

Ya benar. Hingga 22 Oktober 2010, Indonesia yang mempunyai luas areal 3,445 juta hektar. Itu paling luas dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Namun dengan luas itu, hanya tersadap 2,7 juta dengan produksi 2,592 juta ton atau hanya 935 kg per hektar. Kenapa? Masih banyaknya kebun kita menggunakan bibit asalan tadi. Ini banyak dilakukan pada kebun rakyat, karena hampir 90% areal merupakan kebun rakyat. Penanaman dengan bibit klonal sudah dilakukan pada perkebunan asing, perkebunan negara, dan perkebunan swasta. Sebagai jalan keluar tentu dengan penyediaan bibit unggul yang banyak dan murah bagi petani.

Perubahan iklim disebut-sebut juga mempengaruhi?

Ya benar. Cuaca juga mempengaruhi produksi. Dimana-mana produksi turun karena tidak bisa sadap. Ini terjadi karena hujan turun dari sore hingga pagi. Lateks yang biasanya disadap dengan kadar 30 persen, sekarang kurang dari itu. Biasanya bisa mencapai 70 liter, sekarang paling dapat 30 liter. Ini karena datangnya la nina, tahun ini la nina itu berjalan membawa hujan di daerah Pasifik Barat yaitu Indonesia, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Australia Utara, dan Papua Nugini.

Perubahan iklim juga sebagai penyebab kenaikan harga?

Ya. Terjadi kontraksi dalam suplai karet, Thailand biasanya 3,2 juta ton per tahun, tahun ini diprediksi hanya menghasilkan tiga juta ton akibat perubahan iklim ini, selain juga sempat terjadi bencana banjir. Di Malaysia pun terjadi banjir di lahan produksi karetnya, sehingga mempengaruhi suplai karet. Ketidakseimbangan suplai demand maka terjadi lonjakan harga.

Prediksi anomali sampai kapan?

None knows, only God knows. Anomali cuaca tidak bisa diprediksi, kita hanya bisa mengikuti. Kita lihat saja seberapa jauh perubahan iklim ini berlangsung.

Prediksi harga USD 4,2 bertahan?

Saya kira sampai akhir tahun harga masih bertahan di atas USD 4.

Anomali cuaca yang tidak bisa diprediksi, ada kemungkinan harga bisa melebihi USD 4,2?

Tidak. Kita tidak bisa men-statement seperti itu. Tapi harga tidak akan di bawah USD 2,5, idealnya USD 2,5-3.

Dengan harga seperti sekarang ini, yang harus dilakukan pelaku karet di hulu?

Make it square. Berapa anda produksi, segitu lah yang anda jual. Jangan menyimpan terlalu banyak yang dapat mengganggu suplai.

Pembatasan harga bisa dilakukan?

Tidak bisa. Let the market do that. Ini semua adanya mekanisme pasar yang menentukan harga. Sebagai pengusaha hilir di saat harga tinggi, mereka harus tahu kapan Break Event Point (BEP) perusahaannya. Kenapa Bridgestone, Michelin, Goodyear, Cooper, dan Toyo tidak pernah komplain tentang harga? Yang terpenting buat mereka adalah ketersediaan bahan baku. Masih “anak-anak” buat pengusaha hilir yang meminta pembatasan harga.

Permintaan Karet Indonesia ke depan?

Ke depan permintaan akan karet terus meningkat. Permintaan luar negeri bakal meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan industri otomotif dunia. Dalam negeri pun demikian, terjadi peningkatan produksi produk berbahan karet. Contohnya, beberapa pabrik ban seperti Goodyear dan Bridgestone berencana memindahkan lokasi pabrik karena memperluas dan meningkatkan kapasitas produksinya.

Konsumen potensial karet Indonesia?

Konsumen karet Indonesia masih datang dari Amerika. Mereka dikatakan sebagai traditional market karena sudah dari dulu menjadi konsumen kita. Pemakaian terbesar karet alam oleh Amerika untuk ban, hampir 90 persen.

Tahun depan harga bagaimana?

Tahun 2011, none knows, only God knows. Kalau kita bisnis di karet, kita tidak bisa berspekulasi. Tapi kita harus berhati-hati. If we want to work in rubber business, you have to prepare 24 hour a day, 7 day a week, 30 days a month, 12 month a year. Tapi tahun depan diperkirakan masih banyak perusahaan yang tidak bisa memenuhi kontrak, jadi suplai karet masih terganggu.

Karet Indonesia ke depan akan seperti apa?

Tidak terlalu gegabah jika Saya berkeyakinan tahun 2020 Indonesia bisa nomor satu di dunia dengan produksi 3,5 juta ton, bahkan kemungkinan bisa lebih cepat.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 4, Pusat Penelitian Karet Indonesia