Image

Dua nenek renta duduk berdua di beranda gubuknya. Tak banyak yang mereka lakukan di bawah teriknya kota Semarang, hanya diam dan sesekali melakukan percakapan. Dunia seolah milik mereka berdua. Tidak peduli lagi ketika Fortuner mewah lalu lalang atau ketika penunggang Ninja 250R menancapkan gas di depan mereka.

Adalah Rubiyem (65) dan Parmah (75), dua nenek renta dan miskin yang tinggal di gubuk berukuran 1×3 meter yang berada di Jalan Sebandaran Timur, pinggiran kali Semarang. Sudah lebih sepuluh tahun Rubiyem dan Parmah tinggal di “istana”nya.

Saat saya menyambangi kediaman mereka, tubuh Rubiyem dan Parmah hanya berbalut pakaian yang layak dipakai ketika negeri ini dikuasai Belanda. Mungkin mereka lupa, bahwa negeri ini hampir 66 tahun merdeka. Namun mereka tampak nyaman mengenakannya, Rubiyem dan Parmah seperti tak memikirkan lagi untuk membalut tubuh keriputnya dengan sutera.

Hari ini Rubiyem dan Parmah hanya mangkrak di gubuknya. Mereka berdua tidak mayeng (memulung kardus dan kertas) yang sudah menjadi mata pencaharian sehari-hari. Hari itu, fisik Parmah sedang lemah karena batuk. Sebagai seorang “sahabat”, Rubiyem pun memutuskan untuk menemani Parmah. Rubiyem tidak memikirkan hari ini akan makan apa. Mendampingi Parmah adalah waktu terindah dalam hidupnya, karena dia sudah tidak punya lagi sanak saudara.

Rubiyem memutuskan untuk merantau ke Semarang karena tidak punya pekerjaan di kampung halamannya di Magelang. “Wis jaman Pak Karno aku nang Semarang (sudah sejak jaman Soekarno saya di Semarang),” ujar Rubiyem yang sudah lupa kapan tepatnya ia mendarat di kota lunpia ini. Begitu juga dengan Parmah, dia harus meninggalkan kampung halamannya di daerah Kandang Sapi, Solo.

Namun tidak seperti Rubiyem, Parmah masih punya seorang kakak, Parti (85) yang kini berada di Solo. “Aku nek duwe rezeki akeh mesti balik, gus (sebutan untuk anak laki-laki). Niliki  mbakku sing wis tua (Saya kalau punya rezeki banyak, saya jenguk kakak yang sudah tua),” kata Parmah yang paling tidak setahun dua kali mengunjungi kakaknya di Solo.

Dari hasil mayeng, Rubiyem dan Parmah hanya mendapatkan beras dua kilogram. Itupun didapat setelah dua hari bekerja. “rong kilo iso nggo telung dina (dua kilo bisa buat tiga hari),” ujar Rubiyem. Rubiyem dan Parmah berpencar ketika mayeng. Rubiyem memulung kardus ke daerah Kranggan, sedangkan Parmah ke daerah Jagalan, Semarang. Selain mayeng, mereka juga mengumpulkan sisa-sisa nasi, menjemur lalu menjualnya ke penadah. “Aking di dol Rp 1.500 per kg. Kadang di kei tangga (nasi aking dijual Rp 1.500 per kilogram, kadang diberi tetangga),” ujar Rubiyem.

Menurut Parmah, dari bekerja mayeng inilah Rubiyem bertemu dengan dirinya. “Kuwi omahe Rubiyem, aku gor nunut, gus (Itu rumahnya Rubiyem, saya hanya menumpang),” ujar Parmah. “Istana” Rubiyem dan Parmah sangat tidak layak untuk dihuni buat mereka yang sudah renta. Debu dan buliran-buliran dari bambu keropos bisa mengancam kesehatan mereka. Apalagi gubuk juga mereka gunakan untuk memasak. Tak heran jika Parmah saat ini mengidap sakit batuk.

Jika malam tiba, Parmah akan tidur di atas papan, sedang Rubiyem tidur di lantai. Alat-alat dapur akan ditata di atas rak atau ditaruh diluar jika kantuk sudah melanda.

“Apik tho, gus? Istimewa tho omahe mbah (Bagus kan? Istimewa kan rumahnya mbah?),” celetuk Parmah. Namun bukan kesedihan yang terlukis di wajah mereka, malah celetukan tadi membuat Rubiyem dan Parmah tawa lepas, bak tawa gadis-gadis berpakaian modis yang sedang menertawakan gaya kuno pakaian orang yang baru saja lewat di depannya.

Namun hidup dalam kemiskinan tak membuat dua nenek ini lepas dari pungutan. Rubiyem dan Parmah sempat dipungut biaya partisipasi pembangunan Balai Kelurahan Kranggan sebesar Rp 1.000 per hari. Ini juga dibuktikan dengan adanya kupon pembayaran yang masih disimpan oleh kedua nenek tersebut. Namun setelah disindir oleh warga, pungutan tersebut akhirnya dihentikan.

Hidup Rukun Meski Beda Agama

Rubiyem dan Parmah juga hidup dengan “anak angkat” mereka, Manis dan Polang. Manis dan Polang hanya dua ekor kucing yang sudah dianggap sebagai anak mereka. Menurut Parmah, dirinya seperti merasa kehilangan anak jika Polang tidak ada di gubuknya, begitu pun Rubiyem. Manis dan Polang menurut jika disuruh diam, apalagi mereka berlaku manja ketika dipengku Rubiyem dan Parmah.

Karena menganggap dua kucing tersebut sebagai anak, dari dua kilogram beras yang didapat juga dipakai untuk memberi makan Manis dan Polang. Apalagi Rubiyem tak segan-segan membeli pindang untuk kedua kucing tersebut. “Kucing yo duwe nyawa lan kucing iku makhluk ciptaan Gusti Allah (kucing juga punya nyawa dan kucing itu makhluk ciptaan Tuhan),” ujar Rubiyem.

Rubiyem dan Parmah adalah dua makhluk Tuhan berbeda keyakinan. Rubiyem seorang muslim, sedangkan Parmah adalah Nasrani. Rubiyem sudah tidak mampu berpuasa ketika Ramadhan tiba. Begitu juga Parmah sudah tak mampu berpuasa ketika Paskah tiba. Hidup mereka rukun, tidak ada sekat agama yang menghalangi kehidupan mereka. “Nek padu arep entuk opo? Mangan ra mangan sing penting rukun tho, gus (kalau marahan mau dapat apa? makan ga makan yang penting rukun),” ujar Parmah.  Saat ditanya, kemana mereka ketika Lebaran atau Natal tiba? Mereka menjawab hanya tinggal di gubuk mereka. Mereka tidak akan mengemis seperti orang-orang yang karena kemiskinan terpaksa mengemis. Menurut mereka, hidup mereka tidak hanya meminta dan bergantung pemberian orang. Mereka tetap berusaha dengan keringat sendiri, meski hasil tak seberapa. “Dadi wong ki kudu isih ana harga dirine, gus, (jadi orang itu harus punya harga diri)” ujar Parmah.

Namun mereka tidak menolak ketika donatur datang ke gubuk mereka untuk memberi sedekah. “Diparingi yo ditampi, nek ora diparingi yo ora usah muni-muni,(Dikasih ya diterima, tidak dikasih ya ga usah marah2)” ujar Parmah. Mereka sedikit terbantu dengan adanya bantuan beras, gula, teh, dan kopi dari pengurus gereja di daerah Bringin. “Sewulan diparingi 5 kg beras saka gereja Bringin (sebulan diberi 5 kg beras dari gereja Beringin),” ujar Parmah.

“Ning donya memang takdire ana wong mlarat ana wong sugih, ana wong susah ana wong seneng, gus. Tapi wong susah aja terus-terus susah, wong seneng ojo terus-terus seneng,(Di dunia memang takdirnya ada orang miskin dan orang kaya, ada orang sedih, ada orang senang. Tapi orang sedih jangan terus-terusan sedih, jadi orang senang jangan terus-terusan senang)” ujar Parmah.

Kehidupan Rubiyem dan Parmah tampak menghiasi gegap gempita pembangunan kota Semarang. Semoga saja aparat pemerintah yang tampak sibuk mengubah wajah kota, tidak lupa akan tanggung jawab mereka terhadap orang-orang seperti Rubiyem dan Parmah.

Tahun 2006 pemerintah mengeluarkan kebijakan konversi minyak tanah dengan gas. Peluang pasar pun terbuka bagi industri aksesoris kompor gas, tak terkecuali aksesoris yang berbahan karet alam. Konversi minyak tanah ditandai bantuan pemerintah berupa tabung dan kompor gas satu tungku ke masyarakat. Hingga akhir Agustus 2010 pemerintah telah menyalurkan paket gas sebanyak 46, 366 juta paket ke masyarakat.

Efek kebijakan ini juga berimbas ke masyarakat non bantuan. Mereka pun akan beralih ke gas karena semakin mahalnya harga minyak tanah, lalu kompor gas pun semakin diburu keberadaannya. “Dengan adanya kebijakan ini, prospek karet alam sangat terbuka.  Karet alam bisa ambil bagian di kaki kompor, selang, seal, dan katup tabung,” ujar Fuzy Agus, penasehat Koperasi Pengusaha Industri Kecil Suku Cadang Mesin (Kopisma) Bandung. Menurut Fuzy, 85 persen selang gas masih impor, sisanya diisi oleh lokal. “Untuk kaki kompor sudah pasti dikerjakan industri lokal,” tambahnya.

Jika berbicara standardisasi sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), penggunaan karet alam untuk selang tidak diperbolehkan. “Kebanyakan selang gas saat ini terbuat dari Hypalon atau neoprene. Kualitas hypalon lebih baik daripada neoprene. hypalon tahan terhadap asam tinggi dan tahan gesek, harganya pun lebih mahal. Jika menggunakan 100 persen dengan karet alam itu tidak memungkinkan,” ungkap Fuzy. Penggunaan karet alam, tambah Fuzy, kemungkinan ada sebagai pembungkus selang saja. Penggunaan karet alam dikhawatirkan menjadi cepat mengeras dan retak yang bisa menimbulkan kebocoran sehingga membahayakan konsumen. Hal ini terkait dari sifat karet alam itu sendiri.

Menurut Siti A. Rukmana, direktur CV. Tunggal Rubber Industry, kemungkinan karet alam sebagai bahan pembuat selang masih terbuka. Namun karet alam harus diramu dengan bahan kimia lain sedemikian rupa sehingga tidak mudah mengeras dan retak. “Saat ini saya pesimis dengan menggunakan karet alam. Karena karet alam yang beredar di dalam negeri kebanyakan berkualitas rendah, yang tercampur dengan tanah atau bahan lain, sedangkan yang kualitas bagus malah banyak di ekspor. Itulah ketakutan produsen, selang cepat mengeras dan retak. Selang dan seal masih berbahaya jika menggunakan karet alam,” ujarnya

Ditambah kenaikan harga minyak dunia, memunculkan banyak produsen nakal dengan memproduksi selang gas berbahan karet alam. “Karena mengejar keuntungan akhirnya mereka lakukan itu, meskipun tidak masuk spek SNI. Tapi anehnya banyak dari mereka bersertifikat SNI, tidak tahu siapa yang salah. Tidak heran jika banyak kasus kompor mleduk,” ungkap Fuzy. Di pasaran saat ini, harga selang hypalon bisa mencapai Rp15 ribu per meter, biasanya panjang selang untuk kompor gas membutuhkan 1,8 meter.

Digebuk Impor

Data Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), 2008-Juli 2010, kasus ledakan kompor gas tercatat sebanyak 189 kasus. Tahun 2008 terjadi 61 kasus ledakan yang mengakibatkan 27 orang luka-luka dan 19 rumah hancur, tahun 2009 (50 kasus, 12 meninggal dunia, dan 38 luka-luka), sedangkan pertengahan 2010 (78 kasus, 8 orang meninggal, 44 luka-luka). Data Pertamina lebih dahsyat, 2008-2010, kasus ledakan mencapai 270 kasus yang tersebar di Jawa Timur 89 kasus, Jawa Barat (72), dan DKI (35).

“Bayangkan harga tender sekarang menghendaki kompor seharga Rp54 ribu per unit. Untuk selang dipatok Rp6 ribu per meter dan harus memenuhi standar SNI, sedangkan hypalon yang kualitas bagus harganya sudah Rp15 ribu per meter. Ya harga tidak masuk. Kalau harga Rp6 ribu per meter mau dapat kualitas seperti apa? Kompor untuk bangsa kita, dibagikan ke rakyat kita, tapi kualitas jelek, ya akhirnya rakyat yang menanggungnya,” ungkap Fuzy. “Kompor meledak dimana-mana, ya karena kualitas jelek, disamping pengetahuan konsumen yang kurang,” tambahnya.

Dahulu, ketika kompor tender satu tungku masih dengan harga Rp73 ribu per unit, kualitas masih bisa dijamin, tapi sekarang dengan Rp54 ribu, kualitas sangat dipertanyakan. “Menurut saya semua lapar, ingin mendapatkan order. Misal Si A menawarkan Rp60 ribu, sedangkan si B Rp54 ribu, akhirnya pemerintah ambil yang murah. Keluarlah kualitas yang seperti itu. Akhirnya, untuk memperoleh keuntungan, mereka mengimpor dari Cina yang katanya sudah SNI. Tapi menurut saya itu SNI bohongan. Kualitas tidak bagus, tidak sesuai spek SNI. Kalau saya orang SNI, tidak saya loloskan, masa 2-3 bulan selang sudah retak,” ungkap Fuzy.

Saat ini industri lokal kompor gas merasa khawatir dengan serangan kompor gas impor dari Cina. Di satu sisi, industri dalam negeri dituntut kualitas dengan mengikuti standar yang ditetapkan pemerintah, sisi lain pemerintah tampak menutup mata dengan derasnya arus impor. “Kami harus mengikuti standar, tapi dihubungkan harga dengan daya beli masyarakat sedang rendah itu tidak bisa. Saya tidak mengerti kok kompor sekarang ini murah. Dan kalau bicara SNI, itu tidak SNI,”keluh Fuzy.

Fuzy menyesalkan pemerintah terlalu cepat mengambil kebijakan dengan menandatangani China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA). “Menurut saya salah kebijakan pemerintah pada perdagangan bebas terutama perdagangan bebas dengan Cina, terlalu sombong jika kita mengatakan sudah siap menghadapi perdagangan bebas,” ujar Fuzy. Saat ini harga kompor gas satu tungku impor dibanderol dengan harga Rp35 ribu, sedangkan Fuzy masih menjual dengan harga Rp54 ribu.

Kesiapan pemerintah belum teruji ketika banyak kebijakan yang belum berpihak pada industri dalam negeri. “Dari rate suku bunga saja sudah beda, saat ini Cina memberlakukan 3,8 persen per tahun, sedangkan kita hampir 14 persen. Cina juga memberlakukan kebijakan begitu ekspor mereka diberi insentif 1,5 persen dari nilai. Kalau bicara kinerja, Cina bisa dapat 10, kita dapat tiga, sedangkan ratenya dibayar sama. Mau bagaimana kita melawannya?” tanya Fuzy. Fuzy mengklaim sudah banyak rekan-rekannya gulung tikar akibat tidak mampu bersaing dengan kompor gas impor.

Fuzy mengharapkan pemerintah bisa bersinergi dengan industri dalam negeri dengan memberi perlindungan lewat kebijakan-kebijakannya. “Kita butuh perlindungan pemerintah untuk melawan arus yang begitu besar ini. Caranya melalui kebijakan mengontrol barang impor. Selain pemerintah juga masyarakat kita, harus menciptakan budaya cinta produk dalam negeri walaupun sedikit mahal. Saat ini masyarakat kita kurang menghargai dengan produk dalam negeri,” kata Fuzy.

Jika kondisi masih seperti sekarang ini, Fuzy mengkhawatirkan industri dalam negeri akan mati, orang-orang hanya akan berfikir mencari profit dengan menjadi pedagang atau distributor kompor gas. “Dengan kondisi sekarang ini, kalau saya sudah bicara idealis dengan menciptakan kompor gas berkualitas, saya akan kewalahan sendiri. Dan jika tidak sanggup menjalaninya lagi, saya akan tidak lagi kreatif, saya tidak akan lagi menjadi orang manufaktur, saya akan menjadi pedagang dengan mencari profit sebanyak-banyaknya,”ujar Fuzy. “Kami ingin berharap ada perubahan ekonomi yang cepat, bukan hanya gembor-gembor politik saja. Saya khawatir bangsa ini akan jadi penonton jika tidak ada perubahan”, tandas Fuzy.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 5, Pusat Penelitian Karet Indonesia

Hampir dua dasawarsa Pusat Penelitian (Puslit) Karet Indonesia bermukim di Tanjung Morawa, Sumut, mulai tanggal 1 April 2011, kantor Puslit Karet dipindahkan ke Bogor. Efisiensi menjadi alasan untuk hijrah ke kota hujan.

Ini diungkapkan Chairil Anwar, Direktur Puslit Karet Indonesia. “Berdasarkan hasil rapat umum pemegang saham PT. Riset Perkebunan Negara (RPN) tahun 2011 diputuskan untuk memindahkan Pusat Penelitian Karet dari Tanjung Morawa ke Bogor.” Dasar pemindahan adalah untuk peningkatan efisiensi dan efektifitas kerja Puslit Karet.

Efisiensi biaya diharapkan dapat dicapai dengan mengintegrasikan Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor ke dalam Kantor Pusat Penelitian Karet, dan menempatkan posisi Kantor Pusat lebih dekat ke balai penelitiannya.  Posisi di Bogor dinilai strategis karena kegiatan dan klien dari Puslit Karet banyak berkantor pusat di Jakarta dan sekitarnya. Berdasarkan perhitungan, diprediksi tahun ini Puslit Karet bisa melakukan efisiensi biaya sekitar Rp1-1,5 miliar. Apalagi saat ini, kata Chairil, permintaan kerjasama baik studi kelayakan atau pengawalan pembukaan kebun karet baru sedang meningkat, karena prospeknya yang bagus. Jadi Puslit Karet ingin memberikan pelayanan cepat kepada klien.

Kantor Puslit Karet menempati kantor Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor di Jalan Salak No. 1. Bogor, dipilih karena letaknya strategis. Kemudian kantor di Tanjung Morawa selanjutnya dikelola oleh Balai Penelitian Sungei Putih, karena di sana masih terdapat laboratorium dan fasilitas lain yang bisa dimanfaatkan. Dengan pemindahan ini maka BPTK Bogor dilebur ke dalam Puslit Karet. Beberapa fungsi BPTK dulu dan para penelitinya kemudian ditempatkan ke dalam Bidang Pasca Panen. “Selain membawahi bidang pasca panen, direktur juga membawahi Bidang Pra Panen, Bidang Umum dan Sumberdaya Manusia, serta tiga balai penelitian yaitu Sembawa, Getas, dan Sungei Putih,” jelas Chairil.

Posisi Kepala Bidang Pra Panen diisi oleh Dr. M. Supriadi, Kepala Bidang Pasca Panen oleh Dr. Dadi Maspanger, sedangkan Bidang Umum dan Sumberdaya Manusia dikepalai Dr. Uhendi Haris. Kepala Balai Getas dan Sungei Putih diisi Dr. Hananto dan Dr. Karyudi, sedangkan Balai Sembawa yang dulu dikepalai oleh Ir. Khaidir Amypalupy, MS diserahkan kepada Ir. Anang Gunawan, MEc. Chairil menyatakan agar klien-klien BPTK Bogor tidak perlu khawatir dengan adanya peleburan ini, karena pelayanan sama seperti sebelumnya, bahkan akan ditingkatkan kualitasnya. “Kami menjamin kemudahan kerjasama, terutama mengenai teknologi. Klien tinggal menemui bidang pasca panen dan semua akan berjalan sama seperti sebelumnya,” kata Chairil.

Dalam kesempatan lain, Kepala Balai Sembawa yang baru, Ir. Anang Gunawan mengatakan bahwa akan terus melanjutkan program yang telah dirintis oleh pendahulunya, meningkatkan kualitas penelitian dan pelayanan khususnya untuk perkebunan rakyat.

(AGUS SUPRIONO) Produksi karet alam dunia dikuasai Thailand, Indonesia, dan Malaysia yang tak kurang dari 70 persen total produksi dunia. Antar ketiganya selalu terjadi persaingan, namun kerjasama di bidang perkaretan selalu dipertahankan.

Muhibah kali ini yang dilakukan oleh Balai Penelitian Sembawa ke Malaysia dan Thailand tak lain dimaksudkan untuk lebih mempererat kerjasama dan menambah wawasan pengetahuan para peneliti dan staf pendukung lembaga riset di Indonesia. “Kita melakukan kongsi pengalaman,” kata Ir. Khaidir Amipalupy, Kepala Balai Penelitian Sembawa, memakai istilah dalam bahasa melayu.

“Muhibah dimaksudkan untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan dari negeri sahabat Malaysia dan Thailand. Apa yang bagus dari mereka dapat kita ambil dan yang bagus dari kita juga dapat memberikan inspirasi bagi mereka,” lanjut Khaidir. Hal ini diamini oleh Dr. M. Supriadi, Kepala Bidang Penelitian Pusat Penelitian Karet, “Kita memang selalu memprogramkan kegiatan yang dapat menambah pengetahuan dan keterampilan para staf peneliti, baik melalui kunjungan seperti ini maupun mengikuti seminar dan konferensi internasional di luar negeri”.

Titik Mula Penyebaran

Perjalanan muhibah ini di mulai di negeri Paman Lee, Singapura. Negeri ini seakan tak punya andil dalam perkaretan dunia, karena memang tak satupun batang pohon karet tampak di sini. Namun bila kita tengok kilas balik di akhir abad 19, maka negeri ini mempunyai peran yang sangat penting. Ketika awal penyebaran tanaman karet di Asia Tenggara, di samping Malaya, Singapura merupakan salah satu titik penting penyebaran tanaman karet ke Sumatera Timur dan Sumatera bagian Selatan. Kita masih ingat dengan “Kew Garden” di Singapura yang menjadi tempat penanaman karet pertama di Asia Tenggara.

Singapura juga penting untuk pengolahan karet asal Indonesia sebelum pemerintah Indonesia  melakukan larangan ekspor ‘raw material’ karet alam bermutu rendah di tahun 1969. Sebelum larangan itu, Singapura tercatat sebagai salah satu eksportir terbesar Crumb Rubber di dunia. Namun setelah suplai bahan baku karet dari Indonesia terputus, industri crumb rubber Singapura terpuruk. Namun pengusaha Singapura tak kehabisan akal, mereka melakukan ekspansi kapital dengan membangun pabrik-pabrik crumb rubber di Sumatera bagian selatan. Hoktong misalnya masih beroperasi di Palembang hingga sekarang.

Kini Singapura menjelma menjadi negeri jasa perdagangan terbesar dan termaju di dunia. Di negeri ini terdapat bursa perdagangan karet dunia. Dari sinilah harga karet dunia terbentuk dan menjadi acuan bagi produsen karet alam. Hutan beton menjulang tinggi memenuhi negeri ini, namun tetap terasa kesejukan karena tanaman penghijauan kota tetap diprioritaskan untuk tumbuh dengan baik.

Belajar Dari Thailand

Memasuki wilayah Thailand Selatan  seakan berada di Sumatera. Di samping banyak terlihat rumah-rumah orang miskin, wilayah yang berawa dan tanah podsolik tampak menghiasi Thailand bagian Selatan. Tampak jelas persamaannya dengan Sumatera adalah kebun karet sepanjang perjalanan menuju Hatyai, Songkla, Thailand Selatan. Namun terlihat juga dengan jelas kebun karet di Thailand memang layak disebut kebun, karena lebih terawat. Pertanaman karet rakyat di Thailand terlihat rapi berjajar dengan besar batang relatif sama. Berbeda dengan kebun karet di Indonesia yang lebih sesuai di sebut ‘jungle rubber’.

Konon, Thailand banyak menggunakan klon unggul hasil pertukaran klon internasional, terutama dari Indonesia. Hasilnya tak mengecewakan. Sejak akhir tahun 80an, Thailand telah menjadi produsen karet alam peringkat pertama di dunia. Yang lebih mengagumkan penggunaan klon unggul atau bahan tanam okulasi di tingkat petani sudah mencapai 95 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya mencapai 55 persen. Demikian pula produktivitas perkebunan karet rakyat Thailand mencapai 1700 kg karet kering/hektar/tahun, sedangkan Indonesia baru 950 kg karet kering/hektar/tahun.

Ekspor karet alam Thailand cukup beragam jenisnya. Dalam lima tahun terakhir ekspor Thailand berupa RSS (34%), TSR (42%) dan Latex  (24%). Sangat mengagumkan, mengingat dua negara produsen lainnya, yaitu Indonesia dan Malaysia, lebih dari 90 persen sudah beralih ke jenis crumb rubber (karet remah). Dua hal dapat kita cermati dari fakta ini. Pertama, pasar RSS ternyata masih ada, terbukti produksi karet alam Thailand dapat terserap habis di pasar dunia. Kedua, ini menarik, petani Thailand mampu menghasilkan lateks yang dapat diolah menjadi RSS dan lateks pekat. Berarti di tingkat petani, produksi yang dihasilkan lebih tinggi mutunya dibandingkan petani Indonesia yang hanya memproduksi slab atau lump bermutu rendah.

Salah satu kunci keberhasilan Thailand membangun perkebunan karetnya adalah adanya ‘pungutan’ ekspor.. Semua hasil pungutan ekspor ini dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan perkaretan Thailand, baik untuk peremajaan, penguatan kelembagaan petani, perbaikan sistem pemasaran melalui lelang sampai penguatan lembaga riset. Indonesia pun sebenarnya pernah menerapkan pungutan ekspor yang disebut dana Cess. Namun salah kaprah penggunaan dana Cess ini membuat pemerintah menghentikan pungutan ini (baca: dinolkan, bukan dicabut). Mungkin sudah saatnya, dengan di motori Dewan Karet Indonesia, kembali digagas penerapan pungutan dana Cess tersebut.Manfaat dana pungutan ekspor tampak nyata di Thailand. Tengok saja peremajaan perkebunan karet rakyat sangat luas diterapkan. Penggunaan klon unggul merata di tingkat petani. Kualitas produk ditingkat petani sangat terjaga. Sistem pemasaran produk petani melalui sistem lelang juga berjalan sebagaimana mestinya. Tak ada lelang ‘arisan’ atau ‘basa-basi’ seperti yang sering terjadi pada lelang di Indonesia. Yang menarik, sistem lelang pemerintah Thailand dijalankan oleh Lembaga Penelitian Karet Thailand. Walau hanya mampu menjangkau 10 persen dari total produksi Thailand, namun lembaga pelelangan ini telah mendapatkan ‘trust’ dari konsumen terhadap kualitas barang yang dilelang dan kualitas sistem lelang yang dijalankan.

Tampaknya, kini giliran kita yang harus belajar ke Thailand untuk urusan karet alam. Karakteristik perkebunan karetnya pun nyaris sama, yaitu: dominasi perkebunan rakyat. Jadi, cukup pantas dipertanyakan kenapa perkebunan karet rakyat kita tak bisa sebaik perkebunan rakyat Thailand.

Gandrung Kelapa Sawit

Pemandangan yang kontras cukup terasa ketika kita berada di wilayah Malaysia. Di negeri jiran ini, hampir sepanjang perjalanan dipenuhi kebun-kebun kelapa sawit. Ini bisa dimaklumi, karena memang Malaysia sejak tahun 80-an beralih dari perkebunan karet ke kelapa sawit. Konon, Malaysia membongkar 700.000 hektar kebun karet dan menggantinya dengan kelapa sawit.  Situasi ini tergambar pada komposisi usaha yang digeluti FELDA Plantations Sdn Bhd, sebuah perusahaan milik negara Malaysia. Dari keseluruhan luas perkebunan yang dikembangkan, karet hanya punya porsi 10%. Bandingkan dengan kelapa sawit yang mendominasi tak kurang dari 80% dari luas total.

FELDA sendiri merupakan sebuah badan negara yang mempunyai banyak bidang usaha seperti perkebunan, properti dan wisata. Di bidang perkebunan, di samping mempunyai perkebunan sendiri, FELDA juga membina perkebunan rakyat. Mirip dengan konsep inti-plasma di Indonesia.

Lagi-lagi Indonesia tertinggal satu langkah dibanding Malaysia. Negeri jiran ini menyadari sepenuhnya bahwa nilai tambah hanya dapat diraih dengan membangun industri hilir. Produk yang dikembangkan antara lain, ban kendaraan bermotor, sarung tangan, alas kaki dan komponennya. Kuantitas ekspor karet mentah boleh saja kalah dari negara lain, tapi nilai tambah produk karetnya jauh lebih besar. Saat ini, industri hilir karet  Malaysia mampu menjadi salah satu produsen sarung tangan terbesar di dunia.

Adakah Indonesia segera menyadari semua ketertinggalan itu dari negara-negara tetangga ini? Semoga muhibah kali ini bisa menambah pengetahuan dan membuka mata kita bahwa tak ada kata lain selain bekerja keras untuk mengejar kertinggalan kita.

*Penulis adalah Direktur Centre for Agriculture Policy Studies (CAPS)

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 5 Pusat Penelitian Karet Indonesia

Pendanaan menjadi salah satu penyebab belum berkembangnya industri hilir karet di dalam negeri. Pemerintah lalu melirik investor baik dalam maupun luar. Pemberian insentif pun dilakukan untuk merangsang investor agar mau menanamkan modalnya.

Pasokan bahan baku menjadi salah satu aspek penting yang  mempengaruhi keberlangsungan investasi.  Aspek penting lain adalah prospek pasar dari produk yang dihasilkan. Karet alam Indonesia sudah memenuhi kriteria untuk menggaet investor agar menanamkan modalnya. “Sudah banyak yang berinvestasi di karet baik hulu, industri pengolahan, maupun industri hilir,” ujar Didiek Hadjar Goenadi, Staf Khusus di BKPM kepada hevea. Industri pengolahan, lanjut Didiek, lebih banyak berupa industri pengolahan setengah jadi berupa karet remah (crumb rubber), sedangkan untuk industri hilir masih didominasi oleh industri ban, baik ban kendaraan roda empat atau lebih dan roda dua. Di Indonesia, keberadaan Perusahaan Modal Asing (PMA) masih mengungguli Perusahaan Modal Dalam Negeri (PMDN).

Namun saat ini pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memasukkan industri pengolahan crumb rubber ke Daftar Negatif Investasi (DNI). “Karena iklim persaingan industri crumb rubber saat ini terindikasi tidak baik. Suplai bahan baku tidak bisa memenuhi kapasitas pabrik yang ada. Akibatnya muncul persaingan yang tidak sehat. Maka pemerintah memasukkannya ke DNI khususnya pembatasan untuk investor asing,” ujar Didiek. Di Indonesia terdapat lebih 130 pabrik crumb rubber dengan kapasitas mencapai 4 (empat) juta ton.

Masuknya pabrik crumb rubber ke DNI disambut baik oleh Haji Awi, Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan,”Adanya kebijakan ini agar bisa terkontrol. Sebenarnya banyaknya yang berinvestasi di crumb rubber sangat baik. Peluang diserapnya karet kita sangat terbuka dan berharap memicu petani bisa meremajakan kebunnya untuk memperbaiki kualitas karet kita. Namun yang terjadi saat ini, pabrik crumb rubber khususnya di Sumatera Selatan terkendala suplai bahan baku. Hal ini memicu pabrik saling berebut bahan baku.”

Baku rebut bahan baku dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas karet yang di suplai ke pabrik. “Apalagi harga karet saat ini sedang baik. Dikhawatirkan petani jadi tidak memperhatikan kualitas karet yang penting bisa menyuplai ke pabrik. Kebun pun dikhawatirkan jadi rusak, karena terus menerus di sadap. Dampak lain, petani jadi tidak ada gairah untuk meremajakan kebun,” tambah Awi.

Saat ini, di Sumatera Selatan terdapat 23 pabrik crumb rubber dengan kapasitas 1.217.488 ton, sedang suplai bahan baku hanya mencapai 842.000 ton.

Selain membatasi investor crumb rubber, kata Didiek, pemerintah juga membatasi suplai karet alam ke pasar dunia. “Hal ini untuk menjaga harga agar tidak turun drastis karena suplai karet berlebih. Meskipun permintaan dunia saat ini sangat tinggi,” ujar Didiek yang juga sebagai ketua Asosiasi Inventor Indonesia.

Dalam konteks produk jadi, kata Didiek, investasi terbesar masih diduduki industri ban mobil. Menurut Didiek, belum berkembangnya industri hilir karet di Indonesia karena karakter dari industri yang berangkat dari pedagang (trader). “Sehingga mereka kurang bisa mengambil resiko yang tinggi, mereka hanya berkutat di quick yielding,” ujar Didiek. Kurangnya dukungan teknologi juga sebagai penyebabnya. “Teknologi sekarang kebanyakan masih impor. Sebenarnya kalau ada dukungan teknologi mestinya ada keyakinan dari mereka untuk menggeluti bidang ini, karena nilai tambahnya ada di situ.” tambah Didiek.

Perangsang Pemerintah

Pemberian insentif pun dilakukan pemerintah sebagai ujud perhatian khusus pemerintah untuk mengembangkan industri hilir karet Indonesia. “Kebijakan ini dilakukan untuk menciptakan iklim investasi yang baik di Indonesia. Pemerintah tawarkan insentif sama kepada PMA atau dalam negeri. Terutama fiskal, termasuk pajak, bebas pajak bahan baku dan mesin-mesin teknologi dari luar. Sementara produk pertanian saja yang di bebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen,” ujar Didiek. Pemerintah, kata Didiek, juga memberikan keringanan pajak (tax holiday) bagi investor yang akan berinvestasi di industri pioner, industri yang membawa teknologi baru, atau industri yang menyangkut pengembangan wi­la­yah terpencil.

Pemerintah juga memberi insentif bagi yang berinvestasi di infrastruktur. “Dalam pembangunan agribisnis yang menjadi domain pertanian hanya 30 persen, sedang sisanya domain di luar pertanian yang menyangkut infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan, pajak, dan lain-lain. Nah tentu pembangunan pertanian tidak hanya tanggung jawab Kementrian Pertanian, sehingga kita lihat untuk membangun kawasan agribisnis itu berbagai sarana prasarana harus dicukupi pemerintah,” ujar Didiek.

“BKPM mengutamakan tiga pilar utama investasi di pangan, energi, dan infrastruktur. Infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan untuk mendukung pangan dan energi. Pemerintah mengeluarkan kebijakan kemitraan swasta dan publik (public private partnership), pemerintah akan menjamin swasta yang berinvestasi di infrastruktur jika mengalami kerugian,” ungkap Didiek.

Faktor non teknis juga perlu diperhatikan untuk menarik investor agar mengembangkan industri hilir dalam negeri. Menurut Agus Wibowo, Kepala Subdirektorat Program, Evaluasi, dan Pelaporan, Direktorat Industri Kimia Hilir Kementrian Perindustrian, faktor non teknis berupa jaminan keamanan dan kepastian hukum dari pemerintah. Agus mengibaratkan kondisi di Indonesia bak pasar tradisional, “Tidak ada jaminan dan kepastian. Saat ini jaminan keamanan kita menurun dibanding sebelum reformasi. Demokrasi yang kebablasan tercermin dari adanya bakar sana sini, kurangnya toleransi antar umat beragama, adanya berbagai kerusuhan dan pemalakan sana sini. Kalau keamanan tidak bisa dijamin, psikologis investor akan terganggu. Akibatnya mereka berpikir ulang untuk menanamkan modalnya,” ujar Agus.

“Investor bukan cuma pedagang yang jika terjadi ancaman keamanan akan langsung kabur. Kalau kabur, mereka akan meninggalkan aset di sini. Mereka butuh aman dan nyaman. Makanya iklim investasi harus kita ciptakan, kita kontrol, dan perlu kita kendalikan. Itu penting, kalau tidak, investasi kita memang sebuah pepesan kosong,”tegas Agus.

Sekarang ini, ungkap Didiek, saat yang sangat baik untuk berinvestasi di Indonesia, karena pemerintah sudah memberikan berbagai fasilitas insentif. “Khususnya industri karet, dengan bahan baku yang sangat melimpah, akan lebih baik kalau industri hilirnya berkembang di dalam negeri sehingga akan memicu investasi di komoditas ini,” harap Didiek.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 5 Pusat Penelitian Karet Indonesia

Fantastis! Akhir Februari lalu, harga karet sempat menyentuh level US$ 6,3 per kilogram, menjadi level tertinggi di sepuluh tahun terakhir ini. Pelaku di sektor hulu merasa diuntungkan dengan adanya kenaikan harga ini, tapi tidak bagi industri barang jadi karet.

Namun harga sudah terkoreksi pada pertengahan Maret. Ini diungkapkan Chairil Anwar, Direktur Pusat Penelitian Karet Indonesia, ”Harga karet alam hingga pertengahan Maret terkoreksi menjadi US$ 4,8 per kilogramnya. Harga karet alam sedang berfluktuasi saat ini. Naik turunnya harga karet tidak bisa diprediksi secara pasti karena dipengaruhi berbagai faktor.” Kenaikan harga terjadi, kata Chairil, karena terganggunya suplai-permintaan karet alam dunia, ditunjang perekonomian dunia juga sedang membaik. Namun ini tidak diimbangi suplai tiga negara produsen karet alam yang cenderung menurun karena faktor alam dan cuaca.“Jadi karet alam saat ini sangat dibutuhkan. Dan harga sekarang ini pasti akan mengganggu pelaku di sektor industri hilir,” kata Chairil.

Harap-harap Cemas

Kenaikan harga utamanya tidak menguntungkan bagi industri yang pangsa pasar produknya untuk dalam negeri. Apalagi ditambah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen jika produknya diluncurkan ke pasar dalam negeri. Hal ini akan menyebabkan pembengkakan harga jual produk tersebut. “Di saat daya beli masyarakat sedang rendah, kenaikan harga produk akan memaksa produsen harus lebih kreatif, agar produknya bisa terjual. Khususnya buat produsen yang pasarnya di dalam negeri. Bagi industri dengan pangsa pasar ekspor tidak ada masalah,” ujar Asril Sutan Amir, Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo).

Jika produsen kesulitan menjual produknya di dalam negeri, Asril menyarankan bisa dengan melirik pasar ekspor yang saat ini tidak dikenakan pajak sepeser pun. “Namun secara umum kenaikan harga saat ini belum terlalu mengganggu produksi mereka. Industri hilir saat ini harus bersabar, biarkan saat ini petani menikmati harga seperti sekarang ini,” jelas Asril.

Namun tak demikian dalam pandangan Azis Pane, Ketua Dewan Karet Indonesia (Dekarindo). Menurutnya kenaikan harga karet alam tak cuma dinikmati petani saja, tapi juga dinikmati ‘toke’ atau pedagang besar pengekspor karet alam. “Petani paling cuma bisa menikmati 30 persen saja, pedagang besar yang paling menikmati kenaikan ini. Industri hilir harus tetap bersabar dan berusaha survive dengan kondisi saat ini,“ ujar Azis. Industri ban, kata Azis, menjadi industri hilir yang paling berkembang di Indonesia. Saat ini, Indonesia lebih banyak melakukan ekspor karet alam. Tahun 2009, produksi karet alam Indonesia sebanyak 2,5 juta ton, 1,9 juta ton diekspor dengan mendatangkan devisa sebesar Rp3,2 miliar.

Untuk investasi di industri karet saat ini belum terganggu secara signifikan. Ini diungkapkan Didik Hadjar Goenadi, Ketua Asosiasi Inventor Indonesia,“Saat ini iklim investasi khususnya di karet masih baik-baik saja meski ada kenaikan harga. Mungkin di hilir akan sedikit terganggu, namun kenaikan harga ini berdampak baik untuk investasi di hulu. Saat ini cenderung terjadi peningkatan investasi di hulu.”

Kenaikan harga ban tidak bisa ditampik mengganggu produksi ban sepeda motor merek Millennium. Lewat direktur utamanya, Yasin, mengatakan modal untuk produksi mengalami kenaikan, yang tentu akan berimbas kenaikan harga ban di pasaran. “Untuk industri ban mobil penumpang, kenaikan harga ban tidak terlalu memusingkan, karena pasar jenis ban ini ditujukan untuk kalangan menengah ke atas. Namun bagi kami, industri ban sepeda motor sangat terganggu dengan adanya kenaikan harga, karena pasar kami kebanyakan menengah ke bawah. Apalagi daya beli masyarakat saat ini sedang rendah,” ujarnya.

Hal sama juga dikeluhkan Ade Tarya, direktur utama PT. Sugih Instrumendo Abadi, perusahaan pembuat tensimeter. Menurutnya, saat harga karet alam menyentuh US$ 3,3 per kilogram, harga tensimeter buatannya dikeluhkan oleh konsumen di luar negeri, apalagi dengan harga saat ini. “Kami akhirnya mencari bahan alternatif untuk menurunkan harga produk kami, yaitu menggunakan PVC untuk selang atau bladdernya,” ujar Ade. Namun penggunaan PVC dikhawatirkan membuat daya saing produknya menjadi lemah. Karena saat ini kualitas PVC Indonesia masih kalah dengan Cina.

Setali tiga uang dikeluhkan juga oleh pengusaha industri kecil berbahan dasar karet. “Kenaikan harga saat ini mengganggu cashflow kami. Saat kami menandatangani kontrak dengan mitra, kami harus memproduksi dengan harga karet alam saat kami kontrak. Namun ditengah jalan terjadi kenaikan harga yang drastis. Mau tidak mau kami harus menjual produk kami dengan harga lama karet alam, karena sudah terikat kontrak. Jadi kerugian menjadi bayang-bayang kami,” ungkap Henny, pengusaha industri kecil dari Bandung. Kenaikan harga yang fluktuatif ini, lanjut Henny, membuat pengusaha lebih cermat dalam menandatangani kontrak dengan mitra kerjanya.

Siti A. Rukmana, produsen dock fender dari Bandung pun tak jauh beda dengan Henny. Siti lebih baik menghentikan sementara kegiatan produksinya. “Kalau saya paksakan berproduksi, sedang output tidak ada, malah rugi besar. Bisa-bisa saya berhenti dan menghilangkan pekerjaan bagi karyawan saya. Lebih baik saya hentikan sementara, produk yang sudah ada lebih baik disimpan hingga nanti situasi sudah kondusif,” ujarnya.

Yasin berharap pemerintah bisa memberikan insentif harga karet bagi industri dalam negeri. Dengan adanya insentif ini, industri tidak perlu membeli karet alam sesuai dengan harga dunia,  sehingga industri dalam negeri dapat sedikit bernafas meskipun terjadi lonjakan harga seperti sekarang ini.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 5 Pusat Penelitian Karet Indonesia

Sumatera Selatan, saat industri-industri pengolahan kayu karet mulai bertumbangan karena tidak terpenuhinya bahan baku produksi, PT. Sumatera Prima Fibreboard (PT. SPF) malah melenggang eksis sebagai perusahaan pengolahan kayu karet. Strategi jemput bola bahan baku ke kebun-kebun disebut-sebut sebagai grand strategy sehingga perusahaan ini mampu eksis di industri pengolahan kayu karet.

Perusahaan yang berlokasi di Inderalaya ini khusus memproduksi Medium Density Fibreboard (MDF) dengan ketebalan antara 2,5-18 milimeter. MDF PT. SPF diproduksi di pabrik seluas 17 hektar dengan kapasitas produksi sebesar 145.000 m3 per tahun atau 760-820 ton per hari. MDF biasanya digunakan sebagai furnitur, langit-langit, pintu, dan lantai. MDF juga bisa digunakan untuk vener, overlay, dan laminating. Kayu karet tergolong kayu kelas kuat II yang berarti setara dengan kayu hutan alam seperti kayu ramin, perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan nyatoh, sedangkan untuk kelas awetnya, kayu karet tergolong kelas awet V atau setara dengan kayu ramin.

Kesulitan suplai kayu karet di Sumatera Selatan ini adalah infrastruktur yang kurang memadai. “Jalan kebun begitu jelek. Ketika adanya potensi kayu karet di kebun karena petani telah melakukan peremajaan, tetapi kayu-kayu tersebut tidak bisa keluar akibat infrastruktur jelek, itu menjadi problem,” ujar John Hendarso, Direktur Operasional PT. SPF. Pengaruh cuaca, lanjut John, juga sangat berpengaruh besar terhadap suplai karet, artinya ketika musim hujan tiba jumlah suplai akan lebih rendah dibanding musim kemarau.

Ketika hujan tiba, suplai kayu dari perkebunan besar menjadi andalan PT. SPF. Saat ini 40-60 persen, suplai kayu PT. SPF datang dari perkebunan besar dan petani besar. Dari persentase itu, 20-35 persen strategi mereka arahkan ke perkebunan besar, karena perkebunan besar memiliki infrasruktur yang baik. Namun, kata John, mereka tidak sepenuhnya mengambil semua dari perkebunan besar, mereka juga melihat potensi yang ada di petani kecil.

Strategi perusahaan yang berdiri tahun 2004 ini untuk memenuhi kebutuhan suplai kayu karetnya adalah mencarinya hingga ratusan kilometer dari pabrik, “Kami mencari bahan baku hingga jarak 200 kilometer dari pabrik. Kalau tidak demikian kami akan kekurangan bahan baku,” ungkap John. PT. SPF pernah berhenti beroperasi pada tahun 2006 dan 2008 karena kekurangan kayu karet.

Harga beli kayu karet PT. SPF tergantung jarak kebun dengan pabrik. Semakin jauh lokasi kebun maka harga kayu karet akan dibeli dengan harga tinggi. “Harga di pabrik untuk saat ini berkisar Rp170-250 ribu per kilogramnya, itu sudah termasuk biaya tebang, muat, dan angkut. Kayu karet yang masuk ke pabrik PT. SPF harus memenuhi syarat yaitu termasuk kategori fresh cut, maksimal kayu berumur 2 minggu setelah tebang. Syarat ini diberlakukan berkaitan dengan kayu karet masih rentan terhadap jamur biru (blue stain) yang akan mengurangi kualitas kayu. Kebutuhan kayu tergantung dari ketebalan MDF yang akan dibuat. Jika lebih tebal maka akan membuat density lebih rendah sehingga kebutuhan kayu lebih sedikit. Sebaliknya jika lebih tipis density lebih besar maka  kebutuhan kayu lebih banyak.

Kebutuhan Domestik. Pangsa pasar MDF PT. SPF 60 persen ditujukan untuk pasar domestik , sedangkan sisanya  untuk ekspor. Pasar domestik lebih banyak dijual ke Pulau Jawa seperti Jakart dan Surabaya, sedangkan pasar ekspor ditujukan ke China dan Vietnam. “Kami akan memproduksi MDF jika ada pesanan,” ujar John. John mengklaim bahwa perusahaannya merupakan industri pengolahan karet terbaik di Indonesia dari segi kualitas dan pengemasan. Terbukti dengan tiga standardisasi dari luar negeri sudah mereka miliki. Standardisasi datang dari European MDF Board (EMB), Japan Industrial Standart (JIS), dan California Air Regulatory Board (CARB).

Menurut John, saat ini customer luar negeri makin membutuhkan kualitas yang lebih baik, sehingga standardisasi semakin ketat. Ketatnya standardisasi secara tidak langsung berpengaruh semakin tingginya harga MDF buatan PT. SPF. “Standar JIS membuat harga lebih tinggi, karena produksi lebih mahal dengan penetapan standar yang ketat. Customer tidak mempermasalahkan harga, jika kualitas bagus. Ya…ada uang ada barang,” ungkap John. PT. SPF menghasilkan berbagai macam produk MDF, seperti tahan kelembaban tinggi, tahan api, papan formaldehida sangat rendah, dan papan serat kepadatan tinggi khusus untuk industri lantai.

Pemantauan kualitas produk melewati tiga proses yaitu detektor logam, profil kepadatan, dan sistem penyemprotan, dikombinasikan dengan sensor pemantauan melepuh untuk memastikan hanya produk kualitas tinggi yang dihasilkan. “Seluruh proses produksi dan produk akhir kami mengalami pemeriksaan yang ketat berdasarkan standar jaminan kualitas tinggi. Semua produk diperiksa secara visual dan dinilai sebelum persetujuan untuk pengepakan dan pengiriman ke pelanggan kami,” ujar john.

Perbedaan harga jual MDF dalam negeri dengan luar negeri hanya pada jarak pengiriman. Dengan adanya liberasisasi perdagangan, kata John, tidak ada perbedaan harga yang signifikan, semua tergantung jarak. Selain itu, juga tergantung ketebalan dan jenis produk yang dijual. MDF termasuk produk dengan harga jual rendah dengan ongkos produksi tinggi. Berbeda dengan plywood merupakan produk dengan harga jual tinggi, sedangkan produksi rendah sehingga pembelian bahan baku bisa tinggi.

Dukung Peremajaan. Paling penting, kata John, industri yang penggerak nilainya bergantung pada sumberdaya alam harus di manage dalam hal memproduksi atau memanfaatkan bahan baku secara efisien. “Jika bisa efisien, meskipun terjadi kenaikan harga bahan baku, perusahaan masih bisa hidup,” ujar John. Untuk menunjang keberlanjutan, maka semua pengembangan tanaman karet benar-benar di dukung, sustainability supply tergantung dari keberhasilan program peremajaan. Visi pemerintah soal pemasaran, menurut John, belum terlalu clear. “Kita berbicara petani hingga produksi tapi kita tidak melihat Supply Chain Management, supaya produksi kita bisa memiliki jaringan yang kuat,” ujar John.

Untuk mendorong petani melakukan peremajaan sehingga bisa terbantunya keberlanjutan suplai kayu karet, maka PT. SPF memberikan dana berupa bantuan uang untuk tiga penangkar untuk membantu bibit bagi petani yang melakukan peremajaan. Entresnya dari rekomendasi Balai Penelitian Sembawa. Jumlah bibit per tahun tergantung dari kemampuan penangkar itu sendiri. “Karena selama ini permasalahan dari peremajaan adalah tidak adanya dana,” ujar John. Prospek MDF, kata John, masih sangat bagus, karena kayu karet dapat mensubstitusi kayu alam yang saat ini semakin berkurang ketersediaannya sedangkan permintaan semakin meningkat.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 4, Pusat Penelitian Karet Indonesia

Harga karet yang semakin menjanjikan telah menggoda PTPN IX untuk terus mengembangkan karet. Konversi tanaman kopi dan kakao ke karet pun dilakukan. Tak hayal, kin, karet menjadi sumber pendapatan utama bagi perusahaan perkebunan yang berpusat di Semarang ini.

Sejarahnya, N9 terbentuk dari hasil penggabungan dari beberapa PT. Perkebunan (PTP) yakni PTP XV, PTP XVI, dan PTP XVIII. Dalam mengelola tanamannya, N9 membagi jadi dua divisi tanaman yaitu Divisi Tanaman Tahunan dan Semusim. Divisi Tanaman Tahunan membudidayakan dan menghasilkan produk-produk dari tanaman karet, kopi, kakao, dan teh. Sedangkan Divisi Tanaman Semusim menghasilkan produk dari tanaman tebu. N9 memiliki 8 pabrik pengolahan tebu menjadi gula yang tersebar di Jawa Tengah. Industri hilir N9 berupa teh celup dan serbuk merek “Kaligua”, Kopi bubuk “Banaran”, dan Gula pasir “Gula 9”, sedangkan untuk karet masih berupa raw material.

Saat ini areal konsesi 32 ribu ha, sekitar 27 ribu ha didominasi tanaman karet. PTP Nusantara IX juga mengelola komoditas sampingan seperti pala, kapuk, kelapa, dan agrowisata di Kebun Banaran dan Kaligua. “Dari semua komoditas yang ada, sekitar 80% pendapatan diperoleh dari karet, dan saat ini, karet menjadi tulang punggung perusahaan kami,” ujar R. Harwiyanto, Kepala Bagian Tanaman PTP Nusantara IX. Tahun 2009, PTP Nusantara IX berhasil membukukan laba dengan komposisi sebesar Rp 40 miliar dari hasil penjualan sejumlah komoditas. Komposisi dan terbesar diperoleh dari komoditas karet. Direktur Pemasaran dan Rencana Pengembangan PTP Nusantara IX, Dwi Santosa mengatakan perolehan laba sebesar itu melampaui target yang ditetapkan,yakni Rp35 miliar. PTP Nusantara IX pernah mendapat keuntungan yang cukup tinggi saat booming karet pada 1998, mencapai Rp 89 miliar.

Hingga akhir tahun 2009, ada 11 kebun karet yang dikelola dengan luas areal 2.116,6 ha. Sebelas kebun tersebut antara lain Kebun Warnasari, Kawung, Krumput, Blimbing, Siluwok, Sukamangli, Merbuh, Ngobo, Getas, Batujamus, dan Balong. Karet cukup dominan dari empat komoditas pokok yang dikelola PTP Nusantara IX. Untuk tanaman tahun ini (TTI) karet tahun 2009 luasnya 2.116,60 ha. Tahun 2010 diprediksi meningkat 2.253,89 ha, baik dari tanaman replanting maupun konversi. Kakao merupakan tanaman yang akan banyak dikonversi menjadi karet karena menurut Harwiyanto, tanaman kakao sudah tidak cocok dengan perubahan yang terjadi akhir-akhir ini. “Kakao hanya akan kami sisakan 300 ha sebagai kebun bibit kakao. Selain itu, tanaman kopi dan teh pada beberapa kebun yang sudah tidak potensial juga akan kami konversi ke karet,” ujar Harwiyanto.

Untuk tanaman replanting, pada tahun 2010 PTP Nusantara IX akan “menggarap” 2.200 ha. Menurut Harwiyanto, pengembangan tanaman karet dilakukan karena berdasarkan pengalaman, harga karet paling konstan bahkan cenderung meningkat. “Tanaman lain sulit kami prediksi.  Berbeda dengan karet yang prospeknya bagus. Empat tahun ini investasi tanaman karet sangat tinggi. Karet akan kami posisikan sebagai core business yang handal,” ungkap Harwiyanto.

Jor-joran dalam mengembangkan karet telah membuahkan hasil terhadap peningkatan produktivitas setiap tahun. Peningkatan inipun diamini oleh Harwiyanto,”Produktivitas kami naik dari tahun ke tahun. Tahun 2005, kami hanya memperoleh 1.176, tetapi tahun 2009 sudah mencapai 1.414 kg per hektar per tahun. Prediksi kami, tahun 2011 bisa mencapai 1.564 kg per hektar per tahun”. Harwiyanto menambahkan peningkatan produktivitas selain karena pertambahan luas areal karet, juga berkat penggunaan klon-klon unggul rekomendasi Balit Getas, antara lain klon-klon BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260, IRR 118, IRR 32, IRR 42, RRIC 100, dan PB 217. Dari beberapa klon rekomendasi tadi, PTP Nusantara IX  paling banyak mengelola klon PB 217.

Tak hanya itu. Penggunaan gas stimulan etilen untuk memerah latekspun diterapkan. “Dengan menggunakan gas etilen, volume lateks meningkat hingga 200%. Teknologi gas ini diterapkan pada pohon pohon tua, tiga tahun sebelum diremajakan,” ujar Harwiyanto. Dalam 5 tahun terakhir ini, penggunaan gas stimulan etilen dipakai pada beberapa perusahaan perkebunan karet seperti PT. Pinago di Sumatera Selatan dan PTP Nusantara XII. Hasilnya menunjukkan produksi yang stabil konstan, tidak ada penurunan produksi secara signifikan dan mengurangi penurunan kualitas karet. “Tapi kami masih berhati-hati, karena dalam jangka panjang pasti ada dampak akibat pemerasan lateks tersebut. Misalkan saja jika pemeliharaan dan pemupukan tidak dilipatgandakan tentu akan berpengaruh,” tambah Harwiyanto.

Agar produktivitas dapat terus ditingkatkan, PTP Nusantara IX juga memperhatikan perawatan kebun dalam bentuk pemupukan, pemberantasan gulma, dan hama penyakit. Pemupukan masih konvensial baik tunggal atau majemuk, demikian juga pupuk organik. PTP Nusantara IX juga menggunakan rorak dalam,mengisinya  dengan pupuk kandang untuk mengurangi kekeringan pada musim kemarau dan akan terus dibuat setiap tahun sebanyak 25% persen dari luas areal. Rorak sudah dibuat ketika TBM 2 hingga 3. Harwiyanto mengklaim rorak dalam terbukti mempengaruhi pertumbuhan lilit batang dan ketebalan kulit ketika musim kemarau tiba.

Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) dan penyakit daun masih menjadi bayang-bayang yang menakutkan bagi karet di PTP Nusantara IX. Pencegahan sudah dilakukan sejak TBM dan terus mereka lakukan. Salah satu pencegahan JAP dengan menggunakan Triko Combi G yang diproduksi Balit Getas. “Hasilnya,serangan JAP pada karet kami sudah berkurang,” ujar Harwiyanto. Triko Combi G merupakan inovasi terbaru dari Balit Getas untuk menanggulangi JAP. Meskipun masih dalam tahap pengujian, Triko Combi G sudah menunjukkan keberhasilan  yang memuaskan.

Untuk terus meningkatkan kinerja tanaman, selain bekerjasama dengan Balit Getas, PTP.Nusantara IX juga bekerjasama dengan Balit Sungei Putih. Kerjasama dengan Balit Getas berkaitan dengan investasi tanaman, sedangkan dengan Balit Sungei Putih berkaitan dengan sistem eksploitasi. “Setiap tiga bulan sekali mereka datang untuk mengevaluasi semua kondisi tanaman kita,” tambahnya.

Tak hanya kebun produksi, PTP Nusantara IX juga memiliki kebun bibit pada di setiap kebunnya dengan luas masing-masing sekitar 62 ha. Untuk pembibitan, kebanyakan masih menggunakan OMT, tetapi PTP Nusantara IX juga sudah mengadopsi Tanam Benih Langsung (Tabela) untuk kebun bibitnya. Menurut Harwiyanto, penggunaan okulasi hijau dengan sistem Tabela dapat dikatakan sangat efisien, karena pelaksanaan okulasi sudah dilakukan saat bibit berumur empat bulan. “Untuk menghasilkan bahan tanam hanya butuh satu tahun, sehingga sangat menghemat investasi,” ujarnya. Hingga akhir tahun 2009, jumlah bibit polibeg yang dimiliki PTP Nusantara IX sebanyak 1.411.722 bibit, akan meningkat pada tahun 2010 sebanyak 1.503.345 bibit.

Pengembangan karet tak hanya dilakukan pada kebunnya, kualitas Sumberdaya manusia (SDM) juga mulai ditingkatkan. Menurut Sinta Setyarini, karyawan bagian Corporate Secretary, pengembangan SDM dilakukan dengan menggelar beberapa pelatihan bagi sinder, asisten sinder, dan sinder kebun baru, bekerjasama dengan balai-balai penelitian. “Ini dilakukan sebagai bagian dari peningkatan kompetensi mereka dalam budidaya karet, sehingga mereka memahami secara utuh mengelola kebun karet yang baik. Jika perlakukan kebun kami baik, tentu akan baik pula produksi karetnya,” ujar Sinta.

Ekspor

Raw material karet yang dihasilkan PTP Nusantara IX berupa Ribbed Smoke Sheet (RSS), lateks pekat, dan brown crepe. Sekitar 85% dihasilkan PTP Nusantara IX dalam bentuk RSS yaitu RSS I, II, III, IV, Cut A, dan Cut B. Raw material diolah di pabrik-pabrik milik PTP Nusantara IX yang saat ini berjumlah 11 pabrik. Setiap kebun memiliki satu pabrik pengolahan. Pabrik lateks pekat hanya ada di Kebun Getas, sedangkan pabrik brown crepe di Kebun Balong, Merboh, Getas, dan Batu Jamus.

Pangsa pasar karet perusahaan yang pernah berpusat di Surakarta ini lebih ditujukan untuk pasar ekspor, khususnya RSS. Negara tujuan ekspor RSS diantaranya Singapura, China, Jepang, Ukriana, Korea, dan Rusia. “Kami paling banyak mengekspor sheet ke China,” ujar Sinta. Volume ekspor karet PTP Nusantara IX tahun 2009 mencapai 14 ribu ton dari total produksi sebanyak 26 ribu ton. Produksi itu berasal dari hasil panen di lahan seluas 23.000 ha yang tersebar di beberapa wilayah di Jateng. Menurut Sinta, tahun 2010, produksi ditargetkan naik 10% dari tahun lalu dengan perolehan laba 2010 ditargetkan naik 300%. “Kami optimis penjualan karet akan meningkat karena harga karet mulai merangkak naik ke USD3,17 per kilogram per Juni kemarin,” ungkap Sinta.

BUMN Hijau.

Di kebun-kebun karet PTP Nusantara IX, selain ditanami karet, juga ditanam beberapa jenis pohon seperti Jabon, Albasiah, dan Sengon. “Kami mengadopsi dari PTP Nusantara XII. Pohon-pohon tersebut kami tanam di sepanjang jalan kontrol dan tanah-tanah marjinal yang tidak bisa ditanami karet,” ujar Harwiyanto. Ditambahkannya, pada tahun 2011 diproyeksikan pohon-pohon tersebut akan mencapai 3 juta pohon. Dengan demikian, lima tahun kedepan,pada masa panen kayu-kayu tersebut, termasuk dengan kayu karet,PTP Nusantara IX akan menuju bisnis perkayuan. Saat ini, sebagian besar kayu karet digunakan untuk pengasapan pada pengolahan RSS. PTP Nusantara IX belum mengandalkan kayu karet ke dalam bisnis meubel. “Tapi jika ada sisa kayu, kami juga menjualnya ke pihak ketiga dengan harga sekitar Rp50-60 ribu per pohon,”ungkap Harwiyanto.

Rencana ke depan, PTP Nusantara IX bersama tiga BUMN lainnya yaitu PT. Inhutani II,PTP Nusantara VIII, dan PTP Nusantara XII akan memperluas lahan karet di  Kalimantan seluas 14.600 ha. PT. Inhutani akan berperan sebagai pemilik dan pengelolaan lahan, sedangkan PTP Nusantara sebagai penyedia dana dan manajemen. Nilai investasi yang menjadi bagian PTP Nusantara IX sebesar Rp392,80 miliar. “Rencana ini dilaksanakan secara bertahap dari tahun 2010 hingga sampai 2018. Nilai investasi tahun 2010 sebesar Rp 4,2 miliar. Semoga saja rencana ini bisa terwujud,” harap Sinta. Sinta menambahkan, untuk industri hilir karet, PTP Nusantara IX N9 bersama PTPN penghasil karet lainnya tengah berupaya mewujudkan pembangunan industri ban kendaraan roda dua. “Nilai penyertaan PTP Nusantara IX sebesar 14,63% atau sekitar Rp9,5 miliar dari total investasi  yang sebesar Rp65 miliar,”jelas Sinta.

Selain itu, PTP Nusantara IX bersama tujuh BUMN lain yaitu PTP Nusantara X, PTP Nusantara XI, PTP Nusantara XII, PT. RNI, Perum Jasa Tirta I, PT. Petrokimia Gresik, dan Perum Perhutani bekerjasama mendirikan PT. BUMN Hijau Lestari II. “Tujuannya, ikut andil dalam melestarikan dan menghijaukan bumi kita. Areal yang akan dihijaukan seluas 300 ha dengan nilai investasi sebesar Rp15,5 miliar,”ujar Dwi Santosa. Pada BUMN Hijau ini, PTP Nusantara IX dan PT. Jasa Tirta I menginvestasikan dana paling besar masing-masing sebesar 25,5% atau sekitar Rp3,953 miliar. Sedangkan BUMN lainnya mempunyai porsi yang sama. “Program ini akan dilaksanakan selama lima tahun secara bertahap. Investasi N9 tahun 2010 mencapai Rp1,403 miliar,” tambah Dwi.

Pendirian BUMN Hijau juga digunakan sebagai sharing pengalaman pengelolaan tanaman, karena tanaman yang akan banyak ditanam  adalah karet, selain sengon, jabon, sereh, aren, dan salak. “Karena komoditas utama PTP Nusantara IX adalah karet, jadi bisa digunakan sebagai berbagi pengalaman dalam budidaya karet,” ujar Dwi. Program BUMN Hijau sudah dimulai di Wonogiri, seluas 300 ha. “Selanjutnya akan dikembangkan pada DAS Bengawan Solo dan Brantas. Setelah itu kami berencana mengembangkan melakukan program penghijauan seluas 100 ha. Saat ini kami fokus di ke Wonogiri dahulu,”ujar Dwi.

Selain sharing pengalaman tanaman, juga dilakukan sharing pendapatan dengan masyarakat yang ikut andil. Untuk masyarakat yang mengelola tanaman sereh dan aren, hasilnya akan diserahkan 100% kepada masyarakat. Tidak ada sepeser pun untuk BUMN Hijau. “Sedangkan untuk tanaman kayu-kayuan seperti karet, sengon, jabon, dan  salak, hasilnya dibagi dengan perbandingan 60:40. Artinya, 60% dari total hasil penjualan diserahkan ke BUMN Hijau, sisanya untuk masyarakat,” ungkap Dwi di kantornya siang itu.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 4, Pusat Penelitian Karet Indonesia

Gutta Percha dan Hevea Brasiliensis (karet) merupakan pohon penghasil getah lateks. Secara kimiawi, lateks Gutta Percha dan tanaman karet sama-sama memiliki kandungan Isoprena dan Caoretchina. Karenanya, pada saat Perang Dunia II terjadi, Gutta Percha pernah dipakai saat ketika stok suplai lateks dari tanaman karet sedang kosong.

Sejak perkebunan Gutta Percha di Brazil dikonversi dengan tanaman lain, keberadaan Gutta Percha sekarang ini hanya di Indonesia, dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) tepatnya di Perkebunan Sukamaju, termasuk dalam Unit Bisnis Wilayah I PTPN VIII.  “Di Indonesia cuma ada di PTPN VIII, khususnya di Perkebunan Sukamaju,” ujar Tedi Tarunawijaya, Administratur Perkebunan Sukamaju. Perkebunan Sukamaju berada di Kabupaten Sukabumi mengelola areal konsesi seluas 7.379,63 ha, terbagi atas enam afdeling tersebut  meliputi wilayah Cibadak, Cikidang, Bojong Genteng, Parungkuda, dan Kalapanunggal.

Perkebunan Sukamaju mengelola dua tanaman yang dibudidayakan yaitu Gutta Percha dan Kelapa Sawit. Luas areal penanaman Gutta Percha di perkebunan tersebut 282,88 ha, berlokasi di Afdeling III Cipetir. Gutta Percha diperbanyak melalui biji yang diperoleh dari kebun biji khusus di Perkebunan Sukamaju. Tanaman sumber biji itu sendiri ditanam tahun 1885. Tanaman dengan tinggi yang bisa mencapai 30 m dan diameter 0,5 m ini menghasilkan Gutta putih, yakni getah yang diperoleh dari daun. Makin tua umur daun, makin tinggi kadar Guttanya. Dulu, bahan baku Gutta Percha diperoleh dari pohon Gutta Percha di hutan-hutan Sumatera, Riau, Bangka, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia.

Untuk menghasilkan 13 kg Gutta putih dibutuhkan satu ton daun Gutta Percha. Tahun 2009, produksi Gutta Percha PTPN VIII hanya 585 kg Gutta putih. Untuk mengolah daun Gutta Percha menjadi Gutta putih, PTPN VIII memiliki pabrik pengolahannya sendiri, namun pabrik ini hanya beraktivitas jika ada pesanan saja. Pabrik Gutta Percha milik perusahaan perkebunan yang kantor pusatnya berada di Bandung ini bisa dikatakan sebagai pabrik pengolahan Gutta Percha satu-satunya di dunia. “Gutta Percha menjadi identitas tanaman dan menjadi ciri khas PTPN VIII,” ujar Tedi.

Pangsa pasar Gutta Percha PTPN VIII lebih ditujukan ke pasar ekspor. Permintaan datang dari berbagai negara seperti Belanda, Inggris, Jerman, Amerika, Kanada, Hongkong, Australia, Italia, Perancis, dan Irlandia. Pengembangan penggunaan Gutta Percha sudah semakin banyak, Awalnya, Gutta Percha hanya digunakan sebagai insulasi kabel bawah laut. Kini, Gutta Percha digunakan untuk keperluan medis, sebagai pengganti bagian organ manusia, perawatan gigi, dan pembuatan gigi tiruan. Tak hanya itu, Gutta Percha juga digunakan untuk pelapis luar bola golf. Disamping itu, kayu Gutta Percha pun memiliki nilai ekonomis sebagai perabotan/mebel karena memiliki pola-pola yang menarik.

Masuknya Gutta Percha Ke Indonesia. Gutta Percha diperkenalkan pertama kali di Eropa oleh William Montgomery, tahun 1843. Gutta Percha baru memasuki pasaran dunia sekitar tahun 1856 setelah diketahui memiliki sifat-sifat yang cocok sebagai bahan insulasi kabel dasar laut. Pada suhu biasa, Gutta Percha merupakan benda keras, sedikit sekali merentang. Namun ketika dipanaskan pada suhu 650C, material yang diperoleh dari pohon Palagulum Oblongifolium Burck ini menjadi lunak dan dapat dikepal-kepal tangan untuk membentuk apapun.

Tahun 1856 hingga 1896, penggunaan Gutta Percha di dunia untuk insulasi kabel dasar laut sudah mencapai 16.000 ton yang direntangkan sepanjang 184.000 mil laut di sekitar pantai Benua Amerika, Eropa, Asia, Australia, pantai timur dan barat Afrika, dan sepanjang antar samudera. Sekitar tahun 1885, D.E.I. Government melakukan penelitian di Perkebunan Cipetir, saat Afdeling III Perkebunan Sukamaju dengan menanam beberapa varietas pohon Gutta Percha yang kemudian diseleksi.

Sekitar tahun 1901, karena peningkatan kebutuhan akan Gutta Percha, dan dinilai pengalaman yang cukup pada penanaman percobaan sebelumnya, maka Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun Perkebunan Negara Gutta Percha Cipetir dengan menanam tanaman produksi Gutta Percha. Tahun 1901 hingga tahun 1906, terjadi penambahan seluas 1000 ha, yang kemudian pada tahun 1919 penanaman Gutta Percha diperluas lagi 250 ha. Total area Gutta Percha di Perkebunan Cipetir saat itu menjadi sekitar 1.322 ha.

Tahun 1914, Perkebunan Cipetir masuk ke dalam Lands Caoutchouch Bedrijf (LCB), perusahaan perkebunan negara milik Belanda. Masih pada tahun yang sama, Pemerintah Belanda kemudian membangun pabrik Gutta Percha atas prakarsa Tromp de Haas. Namun selama tujuh tahun, pembangunan pabrik ini sempat terbengkalai. Pada tahun 1921, pabrik Gutta Percha dapat diselesaikan oleh H. Van Lennep, yang saat itu menjabat sebagai Administratur Perkebunan Cipetir.

Untuk membuat Gutta Percha dibutuhkan daun dan ranting kecil dari pohon Gutta Percha. Penggilingan daun dan ranting, membutuhkan dibutuhkan dua batu bulat besar menyerupai ban dengan berat masing-masing sekitar empat ton. Batu ini adalah batu granit yang didatangkan dari Italia. Saat ini, terdapat delapan batu yang tersimpan di pabrik Cipetir. Dari delapan batu tersebut, hanya empat batu saja yang masih berfungsi. “Tanpa bantuan batu ini, Gutta Percha tidak bisa diproses,” kata Tedi.

Ada cerita menarik ketika batu ini pertama kali dikirim ke pabrik Cipetir. Dari delapan batu, sebanyak tujuh batu dapat dibawa mudah dan lancar ke pabrik dengan menggunakan pedati yang ditarik oleh kuda. Namun untuk membawa satu batu terakhir dibutuhkan waktu lama. Penyebabnya adalah kuda yang mengangkut batu ini tidak mau jalan jika tidak ditarikan tarian Ronggeng, tarian daerah Jawa Barat. Ketika tarian Ronggeng dimulai, kuda pun akhirnya jalan. Tapi kalau tari Ronggeng berhenti, kuda juga akan berhenti. “Karena itu, batu terakhir ini sering disebut dengan Si Ronggeng,” ujar Tedi.

Gaet Balit Getas. Data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2007 menunjukkan permintaan Gutta Percha trennya terus meningkat. “Awal tahun 2008, harga Gutta Percha mencapai Rp1,5 juta/kg. Harga tersebut tentu sangat menarik untuk mengembangkan Gutta Percha,” ungkap Akhmad Rauf, peneliti dari Balai Penelitian (Balit) Getas. Rauf menambahkan kondisi tersebut belum dapat dimanfaatkan PTPN VIII karena kebutuhan bahan baku yang terbatas. “Kondisi ekstrem terjadi pada tahun 2007, ketika permintaan Gutta Percha mencapai 2.160 kg, namun PTPN VIII hanya mampu memproduksi 108 kg saja,” tambah Rauf.

Karena itu berbagai upaya dilakukan PTPN VIII dalam melestarikan tanaman ini yaitu melalui program pemadatan populasi di areal yang sekarang ini. PTPN VIII juga akan menggaet Balai Penelitian Getas mulai penerapan teknologi budidaya sampai manajemen panen.  “Saat ini PTPN VIII sangat kekurangan bahan baku.Dengan adanya kerjasama ini menjadi langkah awal dalam pengembangan bisnis Gutta Percha PTPN VIII,” ujar Rauf. Tedi menambahkan, harapan Gutta Percha sebagai tanaman kebanggaan Indonesia, khususnya bagi wilayah Kabupaten Sukabumi. Bukan tidak mungkin Perkebunan Cipetir dapat dijadikan sebagai kebun wisata ilmiah di masa yang akan datang.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 4, Pusat Penelitian Karet Indonesia

Nada optimis dilontarkan Asril Sutan Amir, Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) untuk perkaretan Indonesia sebagai dampak membumbungnya harga karet hingga menyentuh USD 4,2. Asrilpun menggadang perkaretan Indonesia bakal menduduki nomor wahid pada tahun 2020. Berikut petikan wawancara dengan Asril Sutan Amir di kantor Gapkindo, Jalan Cideng Barat, Jakarta Pusat:

Bagaimana perkembangan harga karet di Indonesia 10 tahun terakhir?

Sepuluh tahun yang lalu, negara kita masih kurang tepat dalam menganalisa pasar karet. Banyak yang mengatakan bahwa terjadi over supply dari karet. Namun setelah dikaji ulang tahun 2000, sebenarnya tidak. Kemudian terjadi pertumbuhan cepat di China, India, Asia pasifik. Industri otomotif membutuhkan karet alam. Tahun 2001, diadakan Bali Concord oleh tiga negara Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Kita inginkan remunerasi harga yang patut. Kemudian meningkat harga dari 46 cent sampai USD 1 per kilogram. China mengalami perkembangan luar biasa dengan hampir semua provinsi bisa membuka industri ban, dan hingga saat ini China mempunyai pabrik ban sebanyak 366 unit. Dengan penduduk yang banyak, yang dulunya naik sepeda, kemudian motor lalu mobil akibat pertumbuhan ekonomi yang cepat, sangat menyedot karet, dan sampai sekarang ini harga karet naik hingga USD 4,2.

Harga saat ini menyentuh USD 4,2, menurut Anda?

Harga saat ini sebenarnya membuat pusing pengusaha, karena akan membengkakkan working capital mereka. Selama karet di Indonesia paling tinggi sekarang ini, Perang Korea saja hanya mendongkrak hingga USD 3,2. Paling beruntung saat ini adalah pelaku karet di hulu, khususnya petani. Taruh jika kadar mereka 40 persen, mereka sudah dapat Rp14 ribu. Kalau kadar mereka 100 persen bisa mencapai Rp 35 ribu.

Penyebab kenaikan harga tersebut?

Karena negara-negara di Asia, yang disebut emerging market, saat ini mengalami peningkatan GDP. China dan India mengalami pertumbuhan yang luar biasa, China pada kuartal I mencapai 11 persen, 10,6 persen pada kuartal II, dan kuartal III di atas 9%. Pada tahun 2010 China akan tumbuh 10%, meskipun China mengadakan kenaikan suku bunga, tapi ekonomi tetap menghangat. India naik 8%, tahun ini Indonesia sendiri mencapai 6,5%. Dengan kenikan GDP berarti kemakmuran bertambah yang berkorelasi dengan kenaikan konsumsi karet. Tahun lalu, penjualan mobil di China mencapai 13,6 juta unit, tahun ini diprediksi mencapai 16 juta unit. Di Amerika, tahun lalu mencapai 10 juta, tahun ini bisa mencapai 12 juta unit. Terjadi kenaikan permintaan karet alam luar biasa, setidaknya mencapai 5-6 %.

Penyebab lain, menurut Anda?

Pedagang perantara juga memegang peranan terjadinya kenaikan harga saat ini. Rantai tataniaga karet masih cukup panjang. Dari petani, pengumpul tingkat desa, kecamatan, kabupaten sampai pabrik. Mereka cukup mengganggu suplai karet, karena kalau harga naik mereka malah menyimpan karet, sehingga pabrik pengolahan kosong kekurangan suplai bahan baku. Namun kalau harga turun, mereka mengeluarkan semua karet mereka.

Namun harga tinggi, volume produksi kita rendah?

Ya benar. Hingga 22 Oktober 2010, Indonesia yang mempunyai luas areal 3,445 juta hektar. Itu paling luas dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Namun dengan luas itu, hanya tersadap 2,7 juta dengan produksi 2,592 juta ton atau hanya 935 kg per hektar. Kenapa? Masih banyaknya kebun kita menggunakan bibit asalan tadi. Ini banyak dilakukan pada kebun rakyat, karena hampir 90% areal merupakan kebun rakyat. Penanaman dengan bibit klonal sudah dilakukan pada perkebunan asing, perkebunan negara, dan perkebunan swasta. Sebagai jalan keluar tentu dengan penyediaan bibit unggul yang banyak dan murah bagi petani.

Perubahan iklim disebut-sebut juga mempengaruhi?

Ya benar. Cuaca juga mempengaruhi produksi. Dimana-mana produksi turun karena tidak bisa sadap. Ini terjadi karena hujan turun dari sore hingga pagi. Lateks yang biasanya disadap dengan kadar 30 persen, sekarang kurang dari itu. Biasanya bisa mencapai 70 liter, sekarang paling dapat 30 liter. Ini karena datangnya la nina, tahun ini la nina itu berjalan membawa hujan di daerah Pasifik Barat yaitu Indonesia, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Australia Utara, dan Papua Nugini.

Perubahan iklim juga sebagai penyebab kenaikan harga?

Ya. Terjadi kontraksi dalam suplai karet, Thailand biasanya 3,2 juta ton per tahun, tahun ini diprediksi hanya menghasilkan tiga juta ton akibat perubahan iklim ini, selain juga sempat terjadi bencana banjir. Di Malaysia pun terjadi banjir di lahan produksi karetnya, sehingga mempengaruhi suplai karet. Ketidakseimbangan suplai demand maka terjadi lonjakan harga.

Prediksi anomali sampai kapan?

None knows, only God knows. Anomali cuaca tidak bisa diprediksi, kita hanya bisa mengikuti. Kita lihat saja seberapa jauh perubahan iklim ini berlangsung.

Prediksi harga USD 4,2 bertahan?

Saya kira sampai akhir tahun harga masih bertahan di atas USD 4.

Anomali cuaca yang tidak bisa diprediksi, ada kemungkinan harga bisa melebihi USD 4,2?

Tidak. Kita tidak bisa men-statement seperti itu. Tapi harga tidak akan di bawah USD 2,5, idealnya USD 2,5-3.

Dengan harga seperti sekarang ini, yang harus dilakukan pelaku karet di hulu?

Make it square. Berapa anda produksi, segitu lah yang anda jual. Jangan menyimpan terlalu banyak yang dapat mengganggu suplai.

Pembatasan harga bisa dilakukan?

Tidak bisa. Let the market do that. Ini semua adanya mekanisme pasar yang menentukan harga. Sebagai pengusaha hilir di saat harga tinggi, mereka harus tahu kapan Break Event Point (BEP) perusahaannya. Kenapa Bridgestone, Michelin, Goodyear, Cooper, dan Toyo tidak pernah komplain tentang harga? Yang terpenting buat mereka adalah ketersediaan bahan baku. Masih “anak-anak” buat pengusaha hilir yang meminta pembatasan harga.

Permintaan Karet Indonesia ke depan?

Ke depan permintaan akan karet terus meningkat. Permintaan luar negeri bakal meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan industri otomotif dunia. Dalam negeri pun demikian, terjadi peningkatan produksi produk berbahan karet. Contohnya, beberapa pabrik ban seperti Goodyear dan Bridgestone berencana memindahkan lokasi pabrik karena memperluas dan meningkatkan kapasitas produksinya.

Konsumen potensial karet Indonesia?

Konsumen karet Indonesia masih datang dari Amerika. Mereka dikatakan sebagai traditional market karena sudah dari dulu menjadi konsumen kita. Pemakaian terbesar karet alam oleh Amerika untuk ban, hampir 90 persen.

Tahun depan harga bagaimana?

Tahun 2011, none knows, only God knows. Kalau kita bisnis di karet, kita tidak bisa berspekulasi. Tapi kita harus berhati-hati. If we want to work in rubber business, you have to prepare 24 hour a day, 7 day a week, 30 days a month, 12 month a year. Tapi tahun depan diperkirakan masih banyak perusahaan yang tidak bisa memenuhi kontrak, jadi suplai karet masih terganggu.

Karet Indonesia ke depan akan seperti apa?

Tidak terlalu gegabah jika Saya berkeyakinan tahun 2020 Indonesia bisa nomor satu di dunia dengan produksi 3,5 juta ton, bahkan kemungkinan bisa lebih cepat.

Diterbitkan di Majalah Hevea Edisi 4, Pusat Penelitian Karet Indonesia