Dua nenek renta duduk berdua di beranda gubuknya. Tak banyak yang mereka lakukan di bawah teriknya kota Semarang, hanya diam dan sesekali melakukan percakapan. Dunia seolah milik mereka berdua. Tidak peduli lagi ketika Fortuner mewah lalu lalang atau ketika penunggang Ninja 250R menancapkan gas di depan mereka.
Adalah Rubiyem (65) dan Parmah (75), dua nenek renta dan miskin yang tinggal di gubuk berukuran 1×3 meter yang berada di Jalan Sebandaran Timur, pinggiran kali Semarang. Sudah lebih sepuluh tahun Rubiyem dan Parmah tinggal di “istana”nya.
Saat saya menyambangi kediaman mereka, tubuh Rubiyem dan Parmah hanya berbalut pakaian yang layak dipakai ketika negeri ini dikuasai Belanda. Mungkin mereka lupa, bahwa negeri ini hampir 66 tahun merdeka. Namun mereka tampak nyaman mengenakannya, Rubiyem dan Parmah seperti tak memikirkan lagi untuk membalut tubuh keriputnya dengan sutera.
Hari ini Rubiyem dan Parmah hanya mangkrak di gubuknya. Mereka berdua tidak mayeng (memulung kardus dan kertas) yang sudah menjadi mata pencaharian sehari-hari. Hari itu, fisik Parmah sedang lemah karena batuk. Sebagai seorang “sahabat”, Rubiyem pun memutuskan untuk menemani Parmah. Rubiyem tidak memikirkan hari ini akan makan apa. Mendampingi Parmah adalah waktu terindah dalam hidupnya, karena dia sudah tidak punya lagi sanak saudara.
Rubiyem memutuskan untuk merantau ke Semarang karena tidak punya pekerjaan di kampung halamannya di Magelang. “Wis jaman Pak Karno aku nang Semarang (sudah sejak jaman Soekarno saya di Semarang),” ujar Rubiyem yang sudah lupa kapan tepatnya ia mendarat di kota lunpia ini. Begitu juga dengan Parmah, dia harus meninggalkan kampung halamannya di daerah Kandang Sapi, Solo.
Namun tidak seperti Rubiyem, Parmah masih punya seorang kakak, Parti (85) yang kini berada di Solo. “Aku nek duwe rezeki akeh mesti balik, gus (sebutan untuk anak laki-laki). Niliki mbakku sing wis tua (Saya kalau punya rezeki banyak, saya jenguk kakak yang sudah tua),” kata Parmah yang paling tidak setahun dua kali mengunjungi kakaknya di Solo.
Dari hasil mayeng, Rubiyem dan Parmah hanya mendapatkan beras dua kilogram. Itupun didapat setelah dua hari bekerja. “rong kilo iso nggo telung dina (dua kilo bisa buat tiga hari),” ujar Rubiyem. Rubiyem dan Parmah berpencar ketika mayeng. Rubiyem memulung kardus ke daerah Kranggan, sedangkan Parmah ke daerah Jagalan, Semarang. Selain mayeng, mereka juga mengumpulkan sisa-sisa nasi, menjemur lalu menjualnya ke penadah. “Aking di dol Rp 1.500 per kg. Kadang di kei tangga (nasi aking dijual Rp 1.500 per kilogram, kadang diberi tetangga),” ujar Rubiyem.
Menurut Parmah, dari bekerja mayeng inilah Rubiyem bertemu dengan dirinya. “Kuwi omahe Rubiyem, aku gor nunut, gus (Itu rumahnya Rubiyem, saya hanya menumpang),” ujar Parmah. “Istana” Rubiyem dan Parmah sangat tidak layak untuk dihuni buat mereka yang sudah renta. Debu dan buliran-buliran dari bambu keropos bisa mengancam kesehatan mereka. Apalagi gubuk juga mereka gunakan untuk memasak. Tak heran jika Parmah saat ini mengidap sakit batuk.
Jika malam tiba, Parmah akan tidur di atas papan, sedang Rubiyem tidur di lantai. Alat-alat dapur akan ditata di atas rak atau ditaruh diluar jika kantuk sudah melanda.
“Apik tho, gus? Istimewa tho omahe mbah (Bagus kan? Istimewa kan rumahnya mbah?),” celetuk Parmah. Namun bukan kesedihan yang terlukis di wajah mereka, malah celetukan tadi membuat Rubiyem dan Parmah tawa lepas, bak tawa gadis-gadis berpakaian modis yang sedang menertawakan gaya kuno pakaian orang yang baru saja lewat di depannya.
Namun hidup dalam kemiskinan tak membuat dua nenek ini lepas dari pungutan. Rubiyem dan Parmah sempat dipungut biaya partisipasi pembangunan Balai Kelurahan Kranggan sebesar Rp 1.000 per hari. Ini juga dibuktikan dengan adanya kupon pembayaran yang masih disimpan oleh kedua nenek tersebut. Namun setelah disindir oleh warga, pungutan tersebut akhirnya dihentikan.
Hidup Rukun Meski Beda Agama
Rubiyem dan Parmah juga hidup dengan “anak angkat” mereka, Manis dan Polang. Manis dan Polang hanya dua ekor kucing yang sudah dianggap sebagai anak mereka. Menurut Parmah, dirinya seperti merasa kehilangan anak jika Polang tidak ada di gubuknya, begitu pun Rubiyem. Manis dan Polang menurut jika disuruh diam, apalagi mereka berlaku manja ketika dipengku Rubiyem dan Parmah.
Karena menganggap dua kucing tersebut sebagai anak, dari dua kilogram beras yang didapat juga dipakai untuk memberi makan Manis dan Polang. Apalagi Rubiyem tak segan-segan membeli pindang untuk kedua kucing tersebut. “Kucing yo duwe nyawa lan kucing iku makhluk ciptaan Gusti Allah (kucing juga punya nyawa dan kucing itu makhluk ciptaan Tuhan),” ujar Rubiyem.
Rubiyem dan Parmah adalah dua makhluk Tuhan berbeda keyakinan. Rubiyem seorang muslim, sedangkan Parmah adalah Nasrani. Rubiyem sudah tidak mampu berpuasa ketika Ramadhan tiba. Begitu juga Parmah sudah tak mampu berpuasa ketika Paskah tiba. Hidup mereka rukun, tidak ada sekat agama yang menghalangi kehidupan mereka. “Nek padu arep entuk opo? Mangan ra mangan sing penting rukun tho, gus (kalau marahan mau dapat apa? makan ga makan yang penting rukun),” ujar Parmah. Saat ditanya, kemana mereka ketika Lebaran atau Natal tiba? Mereka menjawab hanya tinggal di gubuk mereka. Mereka tidak akan mengemis seperti orang-orang yang karena kemiskinan terpaksa mengemis. Menurut mereka, hidup mereka tidak hanya meminta dan bergantung pemberian orang. Mereka tetap berusaha dengan keringat sendiri, meski hasil tak seberapa. “Dadi wong ki kudu isih ana harga dirine, gus, (jadi orang itu harus punya harga diri)” ujar Parmah.
Namun mereka tidak menolak ketika donatur datang ke gubuk mereka untuk memberi sedekah. “Diparingi yo ditampi, nek ora diparingi yo ora usah muni-muni,(Dikasih ya diterima, tidak dikasih ya ga usah marah2)” ujar Parmah. Mereka sedikit terbantu dengan adanya bantuan beras, gula, teh, dan kopi dari pengurus gereja di daerah Bringin. “Sewulan diparingi 5 kg beras saka gereja Bringin (sebulan diberi 5 kg beras dari gereja Beringin),” ujar Parmah.
“Ning donya memang takdire ana wong mlarat ana wong sugih, ana wong susah ana wong seneng, gus. Tapi wong susah aja terus-terus susah, wong seneng ojo terus-terus seneng,(Di dunia memang takdirnya ada orang miskin dan orang kaya, ada orang sedih, ada orang senang. Tapi orang sedih jangan terus-terusan sedih, jadi orang senang jangan terus-terusan senang)” ujar Parmah.
Kehidupan Rubiyem dan Parmah tampak menghiasi gegap gempita pembangunan kota Semarang. Semoga saja aparat pemerintah yang tampak sibuk mengubah wajah kota, tidak lupa akan tanggung jawab mereka terhadap orang-orang seperti Rubiyem dan Parmah.